Mengutip sebuah jurnal dua mahasiswa Universitas Oxford berjudul The evolution of Jakarta’s flood policy over the past 400 years: The lock-in of infrastructural solutions yang terbit pada 2018, sistem kanal sudah menjadi “peluru utama” melawan Banjir di Jakarta sejak 1619.
Sistem kanal pun terukir sebagai bagian Sejarah Indonesia dalam Prasasti Tugu tentang asal muasal pengerukan kanal dalam tata kelola air pada saat itu.
Saat ini, Jakarta memiliki dua kanal, yaitu Kanal Banjir Barat peninggalan Belanda yang berusia lebih dari 100 tahun serta Kanal Banjir Timur yang hampir mencapai satu dasawarsa.
Kedua sistem kanal yang merupakan bagian dari drainase makro Jakarta yang memiliki fungsi untuk mengalirkan air dari hulu melalui saluran yang sudah tercipta di pinggir kota menuju langsung ke laut sehingga tidak merendam rumah-rumah warga.
Meski saat ini keduanya memiliki kapasitas mumpuni, untuk Kanal Banjir Barat berkapasitas 734 meter kubik per detik dan Kanal Banjir Timur berkapasitas 390 meter kubik per detik hal itu tidak menjamin Jakarta sepenuhnya bebas dari banjir.
"Dua kanal bisa jadi tidak terlalu cukup, karena peningkatan debit air akan terus bertambah seiring jalannya waktu," kata Firdaus Ali yang juga bekerja sebagai Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Air dan Sumber Daya Air.
Menurut dia, agar kapasitas kedua kanal banjir Jakarta itu lebih efektif maka harus disatukan melalui sebuah saluran yang dikenal dengan sodetan Kali Ciliwung. Namun sayangnya pengerjaan saluran penghubung yang dirancang berkapasitas 60 meter kubik per detik itu, saat ini dalam posisi mandek karena alotnya proses pembebasan lahan di bantaran Kali yang meliuk sepanjang 119 kilometer melintasi Jakarta tersebut.
"Ya jadi sekarang, antisipasi lainnya tentu bekerja sama dengan Pemerintah Kota maupun Pemerintah Kabupaten dari daerah hulu untuk membangun Waduk Sukamahi dan Waduk Ciawi, tidak ketinggalan reboisasi di kawasan itu," ujar Firdaus Ali.
Selain pemeliharaan infrastruktur secara fisik dengan pembangunan pintu air, ada juga campur tangan petugas-petugas harian yang kerap dikenal sebagai “pasukan oranye” dan pasukan hijau yang disiagakan sebagai “penjaga gawang” di pintu-pintu air agar aliran menjadi lancar.
Baca Juga: Anies Bakal Gusur Warga di Daerah Rawan Banjir, Dipindah ke Rusun
Tidak jarang mereka terjun langsung berbalut pelampung oranye ke dalam air untuk menyingkirkan sampah-sampah yang mengganggu aliran di pintu air.
"Tugas kita kan yang penting airnya bisa lancar buat sampai ke tujuannya, enggak boleh itu sampai meluap. Jadi ya, kalau ada sampah besar yang ‘ngehalangin’ jalur air, ya mau enggak mau, kita angkut langsung," kata salah satu petugas Unit Pelaksana Kebersihan (UPK) Badan Air di Pintu Air Karet, Solihin.
Tugas para petugas UPK Badan Air yang bertanggung jawab terhadap aliran kanal banjir Jakarta setiap harinya agar berjalan lancar tidaklah mudah. Butuh waktu, tenaga dan dana agar saluran Kanal Banjir Jakarta tidak dipenuhi sampah-sampah sehingga aliran air menuju laut semakin mudah.
"Dulu belum dilengkapi peralatan memadai, peralatan harus rakit sendiri. Dulu bahkan pengambil sampah menggunakan kipas angin untuk jadi saringan secara manual," kata Prasetyo, petugas UPK Badan Air lainnya yang bertugas di kawasan Menteng.
Saat ini kondisi saluran Kanal Banjir Jakarta di pintu-pintu air sudah jauh lebih tertata. Tidak ada lagi gundukan sampah yang terlalu menggunung yang dapat terbawa arus menuju laut. Kondisi para petugas di badan air itu pun semakin membaik dengan fasilitas yang ditambahkan.
"Dulu saya ‘nyebur’ ya ‘nyebur’ aja. Tapi sekarang setidaknya harus pakai pelampung. Semakin baik. Enggak cuma kondisi kitanya ya, kondisi saluran airnya juga. Karena sebelum ada kami, dulunya sampah-sampah pasti sudah terbawa arus sampai ke laut, " kata Solihin.