Artinya: “Barang siapa shalat sebagaimana shalat kita, menghadap arah kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka dia adalah seorang Muslim, ia mempunyai perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kamu mendurhakai Allah dengan mencederai perlindungan-Nya” (HR Anas bin Malik).
Yang terpenting dalam masalah aqidah adalah tetap menyampaikan pokok dan cabang dalam aqidah sebagaimana pokok dan cabang perihal ibadah, agar umat Islam tahu perbedaannya secara pasti antara orang yang tersesat dan orang yang diangap bid’ah; serta bisa membedakan antara orang yang kekal dalam neraka dan yang sekadar melintasinya. Karena, tidak sepantasnya umat Islam menganggap kafir suatu kelompok hanya karena pemahaman dalam aqidah tidak sama dengannya.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa problem tuduhan kafir pada umat Islam yang berbeda paham bukanlah sesuatu yang baru terjadi. Bahkan Imam al-Ghazali menjadi sasaran tuduhan itu sebagai konsekuensi dari kegigihan beliau dalam menjawab dan membantah edukasi syubhat kepada orang-orang yang menganggap dirinya sebagai kelompok “paling Islam”.
Imam al-Ghazali juga menyampaikan bahwa munculnya tuduhan kafir terhadap suatu golongan disebabkan mereka tidak paham koridor dan standar takfir (menuduh kafir) secara khusus. Beliau juga menyampaikan bahwa perbedaan amaliah dalam masalah ibadah tidak sampai berujung pada kekafiran.
Menariknya, dalam kitab yang yang berjumlah 127 halaman itu Imam al-Ghazali membahas masalah penting bagi umat Islam dengan sangat rinci, mulai dari pokok-pokok aqidah, sampai cabang-cabangnya, meski secara eksplisit pembahasan itu sudah disinggung dalam kitab Ihya’ Ulumiddin pada pembahasan tauhid, dan dalam kitab al-Munqid minadl Dlalal.