Dari ratusan orang tersebut, polisi tidak hanya melakukan kekerasan terhadap para demonstran, melainkan juga menyasar terhadap relawan medis. Seperti yang dialami oleh Anya, relawan medis yang berada di Bandung.
“Saat itu Anya mendapat pemukulan dan tendangan dari orang yang menggubakan pakaian sipil. Kekerasan terus dilakukan meski Anya telah mengaku sebagai petugas medis yang saat itu tengah membawa korban,” kata Usman, lewat Youtube Amnesty International, Senin (9/12/2024).
Tak hanya itu, lanjut Usman, mengatakan, saat itu Anya juga sempat mendapat bentakan dan menyeret Anya ke dalam selokan yang tingginya hampir satu setengah meter.

Aktivis HAM yang berada di Jakarta, Rama, kata Usman juga mengalami hal yang sama. Rama saat itu mendapat kekerasan berupa pemukulan dan tendangan hingga kesulitan bernafas akibat hidungnya patah.
Rama, lanjut Usman, juga sempat mendapat makian dari aparat kepolisian. Kemudian, pihak kepolisian juga membawa Rama, namun bukan ke rumah sakit untuk mengobati lukanya. Melainkan Rama dibawa menggunakan mobil tahanan untuk diperiksa di Polda Metro Jaya.
“Setibanya di Polda Metro Jaya, Rama tidak mendapat pendampingan hukum dan tidak diperkenankan untuk menghubungi pihak keluarga,” jelas Usman.
Kekerasan aparat saat aksi di akhir bulan Agustus 2024 itu juga berupa tembakan gas air mata yang tidak sesuai dengan prosedur dialami 17 orang.
Selanjutnya, kekerasan berlapis terdampak pada 65 orang, dan 1 orang dinyatakan hilang sementara.
Baca Juga: Kekayaan Kombes Irwan Anwar, Eks Kapolrestabes Semarang Dicopot usai Kasus Penembakan Gamma