Hal serupa juga dialami oleh warga Rumpin, Bogor. Salah satu warga Rumpin, Neneng, mengungkapkan bahwa ia menghadapi penggusuran sejak 2007.
Ia menyebutkan bagaimana aparat, terutama tentara, datang tanpa pemberitahuan dan mulai menggusur kampung mereka yang berbatasan dengan BSD.
“Kami aksi menolak. Setiap mereka sedang briefing, kami datang. Awalnya kami pikir aparat selalu menjaga rakyat, tapi mereka merampas hak-hak kami,” kata Neneng.
Perlawanan yang mayoritas dilakukan perempuan mendapat respons represif.
“Kami juga turut turun, kebanyakan perempuan. Disetrum. Yang laki-laki ditelanjangi,” ujar Neneng.
Penggusuran ini juga dialami oleh warga Kampung Bayam, Jakarta Utara, yang kehilangan tempat tinggal hingga ditangkap karena melawan.
Mereka sepakat bahwa perlawanan warga bukan hanya tentang mempertahankan tempat tinggal, tetapi juga tentang mempertahankan hak atas tanah dan kehidupan yang layak.
“Kalau sendiri mungkin tidak bisa, tapi kalau bersama-sama kita bisa merebut tempat kita dari mafia tanah,” tegas Shanti.
Pameran Bara Juang Bara-Baraya, yang berlangsung hingga 21 Februari 2025, tidak hanya menyoroti perjuangan warga Bara-Baraya dalam menghadapi penggusuran, tetapi juga menjadi ruang bagi berbagai elemen masyarakat untuk bersatu melawan mafia tanah yang merampas hak-hak warga.
Baca Juga: Warga Bara-Baraya Mengadu ke Komnas Perempuan, Diintimidasi Aparat: Hak Kami Dirampas!
Reporter : Kayla Nathaniel Bilbina