Potret Pendidikan Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia, Menagih Hak untuk Setara

Jum'at, 14 Maret 2025 | 23:40 WIB
Potret Pendidikan Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia, Menagih Hak untuk Setara
potret pendidikan anak penyandang disabilitas Indonesia (Suara.com)

Kisah Aminudin yang kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak hanyalah sebagian kecil persoalan yang dialami oleh para penyandang disabilitas di Indonesia. Padahal, anak penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak non disabilitas lainnya. Hak ini telah dijamin dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 10. Namun kenyataannya, masih banyak ditemui anak penyandang disabilitas yang kesulitan memeroleh haknya.

Dunia Pendidikan untuk Penyandang Disabilitas

Indonesia belum memiliki data induk yang merekam jumlah dan ragam disabilitas di berbagai penjuru negeri. Merujuk pada data UNICEF 2021, jumlah anak penyandang disabilitas secara global tercatat ada sebanyak 240 juta anak, satu dari sepuluh anak merupakan penyandang disabilitas. Sementara itu, tidak ada angka pasti untuk menggambarkan jumlah anak disabilitas di Indonesia. Diperkirakan jumlah anak penyandang disabilitas antara 425.000 hingga dua juta anak. Hal ini disebabkan banyaknya sumber data yang memberikan jumlah berbeda-beda.

Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) tahun 2015 mencatat jumlah anak penyandang disabilitas sebanyak 566.997 anak dengan rentang usia 2-17 tahun. Sementara itu, perbedaan mencolok terlihat pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 mencatat sebanyak 1.994.245 anak penyandang disabilitas berusia 2-17 tahun, dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebanyak 831.546 anak penyandang disabilitas berusia 5-17 tahun.

Data Susenas 2018-2021 menyoroti penurunan jumlah anak penyandang disabilitas hampir setengah selama beberapa tahun. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menelusuri penyebab penurunan signifikan tersebut mengingat kuesioner untuk mengukur disabilitas tidak berubah selama periode tersebut.

Jumlah anak disabilitas di indonesia (Suara.com)
Jumlah anak disabilitas di indonesia (Suara.com)

Sementara itu, merujuk data dari ‘Buku Penduduk Berkualitas Menuju Indonesia Emas 2045’ yang dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas), pada tahun 2024 diperkirakan ada 50 ribu bayi penyandang disabilitas dari total 4,56 juta bayi yang lahir. Pemerintah harus mempersiapkan diri menyambut generasi baru agar mereka bisa mendapatkan hak pendidikan di masa mendatang.

Terkait sektor pendidikan, tercatat tiga dari 10 anak penyandang disabilitas tidak pernah sekolah, hanya 56 persen anak penyandang disabilitas lulus Sekolah Dasar merujuk hasil Susenas 2018. Sementara itu, berdasarkan data Statistik Pendidikan 2018, hanya 5,48 persen anak penyandang disabilitas usia lima tahun ke atas yang masih sekolah, 23,91 persen anak penyandang disabilitas tidak sekolah sama sekali dan 70,62 persen anak disabilitas berhenti sekolah.

Lebih jauh lagi, merujuk pada data Analisis Lanskap tentang Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia yang dikeluarkan oleh UNICEF pada 2023, anak penyandang disabilitas yang tinggal di perdesaan dua kali lipat lebih banyak tidak sekolah di tingkat SD dibandingkan dengan anak penyandang disabilitas yang tinggal di perkotaan.

Fenomena serupa juga dialami oleh anak penyandang disabilitas yang hidup dalam kemiskinan memiliki kemungkinan kecil untuk mengenyam pendidikan dibandingkan dengan anak penyandang disabilitas yang berasal dari keluarga tidak miskin.

Persentase anak tidak sekolah di semua jenjang pendidikan di Indonesia (Suara.com)
Persentase anak tidak sekolah di semua jenjang pendidikan di Indonesia (Suara.com)

Anak penyandang disabilitas yang hidup dalam kemiskinan berpotensi 45 persen lebih tinggi tidak sekolah di tingkat SD, 31 persen tingkat kemungkinan tidak sekolah di tingkat SMP dan 23 persen di tingkat SMA dibandingkan dengan anak penyandang disabilitas dengan keluarga tidak miskin. Data ini diperkuat dengan temuan Indonesia Corruption Watch 2021 yang menemukan orang tua dari anak penyandang disabilitas harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk memastikan anak mereka bisa mendapatkan akses pendidikan, khususnya di sekolah inklusif. Biaya tambahan yang harus dikeluarkan, termasuk untuk membayar guru bantu dan transportasi antara Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Hal ini mengindikasikan anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin semakin sulit mengakses pendidikan karena harus mengeluarkan biaya tambahan lebih besar.

Pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan Program Indonesia Pintar yang memberikan bantuan uang tunai untuk pelajar yang memenuhi syarat, yakni anak yatim piatu, anak dari keluarga miskin , anak putus sekolah dan anak penyandang disabilitas. Namun, dalam laporan UNICEF hanya sekitar enam persen anak penyandang disabilitas yang mendapatkan program tersebut. Mereka juga dihadapkan dengan kondisi keterlambatan pengiriman dana hingga dana yang didapatkan seringkali digunakan untuk tujuan nonpendidikan.

Hasil riset ‘Situasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas’ yang dilakukan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) di DI Yogyakarta tahun 2022 menemukan fakta banyak anak-anak kehilangan hak pendidikan lantaran masih minimnya jumlah sekolah inklusif dan Sekolah Luar Biasa yang ada di wilayah DI Yogyakarta. Tercatat ada 79 SLB di wilayah DIY, 70 sekolah diantaranya dikelola oleh swasta. Meskipun sekolah umum telah didorong menjadi sekolah inklusif, sekolah tersebut seringkali dihadapkan dengan sumber daya guru yang terbatas.

"Situasi ini menjadikan anak sering kali mengalami penolakan atau tidak mendapatkan layanan pendidikan yang optimal," kata Irmaningsih Pudyastuti, staf Women Disability Crisis Center SAPDA saat dihubungi Suara.com, Jumat (14/3/2025).

Irma menjelaskan, hambatan lain yang dihadapi oleh anak penyandang disabilitas untuk memperoleh hak mereka mengenyam pendidikan adalah minimnya sekolah asrama yang mengajarkan kemandirian. Beberapa sekolah sudak menerapkan sistem asrama dan pendidikan berbasis aktivitas harian mandiri untuk anak penyandang disabilitas. Tercatat ada dua SLB negeri yang menyediakan asrama, yakni di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul. Namun, jumlah pendamping yang terbatas menyebabkan kuota penerimaan anak didik ikut dibatasi.

Selain itu, stigma juga menjadi salah satu penghambat utama dan menjadi penyebab perundungan hingga berujung pada kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru dan teman sebaya.

"Dari riset juga ditemukan adanya kedaruratan pendidikan kesehatan reporduksi, karena masih banyak orang tua kesulitan dalam menyampaikan informasi seputar kesehatan reproduksi," ujar Irma.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI