Tanpa alternatif, tanpa solusi, Aminudin dikeluarkan dari sekolah. Tak hanya kehilangan kesempatan belajar, Aminudin juga kehilangan hak untuk mendapat perawatan medis yang layak. Keterbatasan ekonomi membuat keluarganya tak mampu membawanya ke dokter atau menjalani terapi khusus. Beban hidup yang terus menumpuk membuat sang ayah semakin tertekan. Depresi menggerogoti hingga akhirnya merenggut nyawanya.
Kehilangan ayahnya seolah menjadi awal dari penderitaan baru bagi Aminudin. Alih-alih mendapatkan perlindungan, Aminudin malah menjadi sasaran ketakutan dan stigma warga sekitar tempat tinggalnya. Warga mulai menganggapnya sebagai gangguan. Cap ‘orang gila’ disematkan begitu saja tanpa memahami siapa Aminudin sebenarnya. Hingga suatu hari, warga membawanya paksa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia, Sleman.

Kehilangan anak satu-satunya membuat Parjiah, sang ibu, semakin terpuruk. Ia mengamuk, menjerit di depan rumah, menangisi nasib yang merenggut keluarganya satu per satu. Tak lama kemudian, warga memutuskan menjemput Aminudin dari RSJ dan mengembalikannya kepada ibunya. Parjiah menyambutnya dengan pelukan erat, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Trauma telah mengubahnya.
Ia kini lebih banyak diam, lebih sering mengurung diri di kamar, tak lagi peduli pada dirinya sendiri. Hari-harinya hanya diisi dengan mengasuh Aminudin yang kini sudah berusia 23 tahun.
“Kakak saya jadi depresi sejak saat itu. Tidak pernah mandi, tidak bisa kerja. Cuma ngurusin anaknya saja. Mereka berdua hidup dari belas kasihan warga, ada yang antar makan tiap hari,” ujar Shobirin.
Kisah Aminudin yang kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak hanyalah sebagian kecil persoalan yang dialami oleh para penyandang disabilitas di Indonesia. Padahal, anak penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak non disabilitas lainnya. Hak ini telah dijamin dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 10. Namun kenyataannya, masih banyak ditemui anak penyandang disabilitas yang kesulitan memeroleh haknya.
Dunia Pendidikan untuk Penyandang Disabilitas
Indonesia belum memiliki data induk yang merekam jumlah dan ragam disabilitas di berbagai penjuru negeri. Merujuk pada data UNICEF 2021, jumlah anak penyandang disabilitas secara global tercatat ada sebanyak 240 juta anak, satu dari sepuluh anak merupakan penyandang disabilitas. Sementara itu, tidak ada angka pasti untuk menggambarkan jumlah anak disabilitas di Indonesia. Diperkirakan jumlah anak penyandang disabilitas antara 425.000 hingga dua juta anak. Hal ini disebabkan banyaknya sumber data yang memberikan jumlah berbeda-beda.
Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) tahun 2015 mencatat jumlah anak penyandang disabilitas sebanyak 566.997 anak dengan rentang usia 2-17 tahun. Sementara itu, perbedaan mencolok terlihat pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 mencatat sebanyak 1.994.245 anak penyandang disabilitas berusia 2-17 tahun, dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebanyak 831.546 anak penyandang disabilitas berusia 5-17 tahun.
Data Susenas 2018-2021 menyoroti penurunan jumlah anak penyandang disabilitas hampir setengah selama beberapa tahun. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menelusuri penyebab penurunan signifikan tersebut mengingat kuesioner untuk mengukur disabilitas tidak berubah selama periode tersebut.

Sementara itu, merujuk data dari ‘Buku Penduduk Berkualitas Menuju Indonesia Emas 2045’ yang dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas), pada tahun 2024 diperkirakan ada 50 ribu bayi penyandang disabilitas dari total 4,56 juta bayi yang lahir. Pemerintah harus mempersiapkan diri menyambut generasi baru agar mereka bisa mendapatkan hak pendidikan di masa mendatang.