"Saksi dan korban ada sekitar 13 orang yang diperiksa. Tetapi kalau ditanya apakah ini seluruhnya mahasiswa ataupun ada juga tendik (tenaga pendidik) dosen, kami tidak melihat detail itu," ujar Andi.
Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, EM dinyatakan melanggar Pasal 3 Ayat 2 Huruf l dan m Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus, serta melanggar kode etik dosen.
Untuk langkah awal, EM telah dibebastugaskan dari seluruh aktivitas tri dharma perguruan tinggi dan dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi pada 12 Juli 2024.
Keputusan itu dibuat sebelum pemeriksaan selesai demi menjaga ruang aman bagi korban dan civitas akademika UGM.
"UGM melalui Satgas PPKS UGM terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan pada korban sesuai dengan kebutuhan para korban," imbuh Andi.
Meskipun telah diberhentikan tetap dari jabatan dosen UGM, Andi mengatakan kalau status guru besar EM masih berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek RI).
Andi turut menerangkan kalau pengangkatan guru besar merupakan keputusan menteri sehingga pencabutannya juga harus dilakukan melalui keputusan menteri.
"Status guru besar itu diajukan kepada pemerintah, khususnya kementerian. SK-nya dikeluarkan oleh Kementerian. Jadi, kalau kemudian guru besarnya ingin dicabut, keputusannya juga harus dikeluarkan oleh kementerian," tutur dia.
Andi menambahkan, jabatan akademik seperti lektor kepala dan guru besar menjadi kewenangan pusat. Ini berbeda dengan lektor atau asisten ahli yang dapat ditetapkan oleh perguruan tinggi.
Baca Juga: KAI Commuter Cari Pelaku Pelecehan di Stasiun Tanah Abang, Terdeteksi Lewat CCTV
"Kami di UGM diminta untuk memeriksa, hasil laporan akan kami sampaikan kepada kementerian," umbar Andi.