Suara.com - Dunia memanas. Peningkatannya makin tak bisa diabaikan.
Tingkat pemanasan global akibat aktivitas manusia kini mendekati 0,27 derajat Celsius per dekade. Angka ini bukan sekadar statistik, ini peringatan. Para ilmuwan menyebutnya sebagai “gambaran yang menyedihkan” tentang arah yang tengah kita tuju.
Dalam waktu kurang dari tiga tahun, dunia berisiko mengunci nasibnya pada lonjakan suhu global di atas 1,5 derajat Celsius. Ambang batas itu menjadi simbol penting dalam Perjanjian Paris 2015. Jika terlampaui, risiko krisis iklim, seperti gelombang panas ekstrem, kekeringan panjang, badai lebih besar, dan kenaikan permukaan laut, akan memburuk dan lebih sering terjadi.
Menurut laporan Global Climate Change Indicators yang dirilis Kamis ini dalam jurnal Earth System Science Data, jumlah karbon dioksida yang tersisa untuk dikeluarkan sebelum melewati batas 1,5°C hanya 143 miliar ton. Dengan emisi tahunan global saat ini sekitar 46 miliar ton, dunia bisa melampaui batas itu pada awal 2028, kurang dari tiga tahun dari sekarang.
“Hal-hal tidak hanya memburuk. Keadaan memburuk dengan cepat,” kata Zeke Hausfather, salah satu penulis studi dari Stripe dan kelompok pemantau iklim Berkeley Earth.

“Beberapa laporan menunjukkan ada hikmahnya. Saya rasa tidak ada hikmahnya dalam laporan ini.”
Suhu bumi saat ini sudah naik sekitar 1,24 derajat Celsius dibanding masa praindustri. Tahun lalu bahkan sempat menyentuh 1,52 derajat. Memang, target Paris dihitung berdasarkan rata-rata jangka panjang, biasanya 20 tahun. Namun data itu memperlihatkan tren yang semakin sulit dibantah.
Mengapa 1,5°C Sangat Penting?
Karena ini bukan hanya angka. Ini batas wajar yang ditentukan dunia untuk menghindari skenario terburuk.
Baca Juga: Menagih Transparansi dan Keadilan dalam Dokumen Iklim Indonesia
Joeri Rogelj, ilmuwan iklim dari Imperial College London dan salah satu penulis laporan, menjelaskan bahwa melewati 1,5°C berarti memasuki wilayah risiko yang tak proporsional: negara-negara kepulauan kecil bisa hilang, dan masyarakat rentan di seluruh dunia akan menanggung beban terberat.
“Batas itu adalah batas politik yang telah diputuskan negara-negara bahwa di luar batas itu dampak perubahan iklim tidak dapat diterima oleh masyarakat mereka,” ujarnya.
Selain peningkatan emisi dari bahan bakar fosil, faktor lain yang mempercepat pemanasan adalah berkurangnya polusi partikel. Meski berbahaya bagi kesehatan, partikel-partikel seperti jelaga dan kabut asap sempat berperan menahan sebagian panas matahari. Ketika polusi ini dikurangi, efek pendinginnya ikut hilang, dan pemanasan muncul lebih nyata.
Ketidakseimbangan energi Bumi juga makin tajam. Bumi menyerap lebih banyak panas dari matahari dibanding yang dipancarkannya kembali ke luar angkasa. Ketidakseimbangan ini, menurut para ilmuwan, adalah indikator paling nyata dari akumulasi panas akibat krisis iklim.
“Itu jelas-jelas semakin cepat. Ini mengkhawatirkan,” kata Hausfather.
Namun Ini Bukan Akhir Segalanya
Melewati 1,5°C bukan berarti dunia kiamat. Ini peringatan, bukan vonis mati.
Jonathan Overpeck, dekan sekolah lingkungan di Universitas Michigan, yang tidak terlibat dalam studi ini, menegaskan pentingnya terus beraksi.
“Melewati ambang batas berarti semakin sering terjadi ekstrem iklim, gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya, kekeringan ekstrem, badai besar.”
Sementara itu, Andrew Dessler dari Universitas Texas A&M menilai target 1,5°C memang aspiratif dan sulit tercapai. Tapi, “melewatkannya bukan berarti kiamat,” tulisnya.
“Setiap sepersepuluh derajat pemanasan membawa dampak yang lebih buruk.”
Dengan kata lain, masih ada ruang untuk berbuat. Mempercepat transisi energi bersih, menghentikan ketergantungan pada batu bara dan minyak, serta membangun sistem yang tangguh terhadap perubahan iklim menjadi keharusan, bukan pilihan.
Karena meski kita telah terlalu lama menunda, pilihan hari ini akan menentukan apakah bumi tetap bisa dihuni secara adil dan aman oleh generasi yang akan datang.