“68 persen dari total rencana pembangkit EBT justru ditempatkan pada tahun 2030 dan setelahnya… Pola ini persis dengan RUPTL 2021–2030,” kata Bondan. Menurutnya, ini menunjukkan kecenderungan untuk menunda alih-alih mempercepat.
Dampaknya? “Strategi seperti ini memperlemah kredibilitas pemerintah dan menempatkan Indonesia dalam risiko ketertinggalan dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.”
Vietnam menjadi contoh kontras. Dalam dua tahun saja, negara itu menambah lebih dari 11 GW kapasitas tenaga surya lewat skema sederhana feed-in tariff. Sementara Indonesia, yang potensinya jauh lebih besar, baru menyentuh angka realisasi di bawah 1,5 GW.
Transisi energi bukan sekadar proyek teknis, tetapi persoalan kebijakan struktural dan keberanian politik. Pemerintah baru dengan mandat kuat kini punya peluang mengubah arah, jika benar-benar menyiapkan otoritas pengadaan independen, menyusun timeline kredibel, memperbarui RUPTL secara dinamis, dan melibatkan pelaku usaha serta masyarakat lebih luas.
Karena pada akhirnya, seperti yang digarisbawahi dalam laporan tersebut, energi terbarukan bukan hanya soal panel surya dan turbin angin. Ini soal kedaulatan masa depan, keadilan sosial, dan hidup generasi berikutnya.