Suara.com - Sidang kasus korupsi impor gula yang menyeret mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, memasuki babak krusial. Di satu sisi, jaksa menuntut hukuman berat 7 tahun penjara, menudingnya sebagai otak kerugian negara sebesar Rp 515,4 miliar. Di sisi lain, pembelaan Lembong membuka kotak pandora yang lebih besar: ini bukan dosa yang ia mulai, melainkan 'warisan beracun' dari menteri-menteri sebelumnya.
Alih-alih sekadar menyangkal, duplik yang dibacakan kuasa hukumnya, Tabrani Abby menarik garis waktu jauh ke belakang, sebelum Lembong menjabat menteri perdagangan.
Strategi ini mengubah narasi dari sekadar "terlibat atau tidak" menjadi pertanyaan yang lebih fundamental: apakah Tom Lembong adalah pelaku utama, atau sekadar pejabat yang terjebak dalam sistem yang sudah keropos?
Membongkar Mesin Waktu Kebijakan Gula
Pembelaan Lembong tidak berfokus pada sanggahan teknis semata. Mereka menyeret dua nama pendahulunya, Gita Wirjawan dan Rachmat Gobel ke dalam pusaran kasus.
Menurut Tabrani, hubungan antara Kementerian Perdagangan dan Induk Koperasi Kartika (Inkopkar)—yang menjadi salah satu titik sentral dakwaan—sudah terjalin melalui nota kesepahaman sejak 2013 di era Mendag Gita Wirjawan. Jika kerja sama dengan Inkopkar dianggap menyimpang karena bukan BUMN, mengapa praktik ini sudah berjalan bertahun-tahun sebelum Lembong menjabat?
Lebih tajam lagi, pembelaan menyoroti surat-surat dari Inkopkar di era Mendag Rachmat Gobel yang belum ditanggapi. Lembong, menurut pengacaranya, hanya menindaklanjuti "pekerjaan rumah" yang ditinggalkan pendahulunya. Termasuk di dalamnya adalah permintaan Inkopkar agar PT Angels Product diberikan izin impor sebagai ganti rugi gula yang mereka pinjamkan untuk operasi pasar di era Gobel.
Jaksa menafsirkan surat ini sebagai bukti keterlibatan Lembong. Namun, kubu Lembong membacanya sebagai bukti sebaliknya: ini adalah masalah warisan yang harus ia selesaikan.
"Interpretasi tersebut keliru," tegas Tabrani, menuduh jaksa hanya mengandalkan asumsi dan salah membaca bukti.
Baca Juga: Tanggapi Replik Jaksa, Kubu Tom Lembong: Inkopkar Pinjam Gula untuk Perintah Jokowi
Perang Narasi: Individu vs. Sistem
Di sinilah letak pertarungan sesungguhnya. Jaksa Penuntut Umum (JPU) membangun narasi yang sederhana dan kuat: Tom Lembong, sebagai menteri, secara sadar memberikan izin impor kepada perusahaan swasta yang tidak berhak, mengabaikan BUMN, dan gagal mengendalikan harga, sehingga merugikan negara. Dakwaan ini menempatkan Lembong sebagai aktor tunggal yang menyalahgunakan wewenangnya.
Namun, pembelaan Lembong menawarkan narasi tandingan yang lebih kompleks; masalahnya bukan pada individu, tetapi pada sistem. Kebijakan melibatkan koperasi non-BUMN sudah ada.
Penunjukan mitra (PT Angels Product) dilakukan oleh Inkopkar sendiri karena alasan teknis (memiliki pabrik), bukan atas arahan Lembong. Sang mantan menteri digambarkan hanya sebagai bidak catur yang menjalankan mekanisme yang sudah ada.
Pertanyaannya apakah jaksa benar-benar membidik akar masalah—yaitu sistem tata niaga gula yang rapuh dan rentan dimanfaatkan—atau hanya mencari "korban" yang paling mudah dijangkau, yaitu menteri yang menandatangani surat keputusan akhir?
Putusan yang akan mendefinisikan akuntabilitas