Suara.com - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang menanggapi pemberian amnesti untuk Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Saut menegaskan, meski substansi Operasi Tangkap Tangan (OTT) bisa diperdebatkan, masalah utama dalam kasus Hasto adalah proses penegakan hukumnya yang cacat sejak awal.
Menurut Saut, kasus yang menjerat Hasto memiliki perbedaan mendasar dengan kasus Tom Lembong. Sebagai orang yang lama berkecimpung di lembaga antirasuah, ia memahami seluk-beluk pengembangan kasus OTT. Namun, ia secara konsisten menyoroti bagaimana proses hukum terhadap Hasto berjalan dengan cara yang tidak mencerminkan keadilan.
"Nah, kalau Hasto memang agak sedikit beda. Saya sebagai yang pernah lama di KPK, memang OTT itu ada hal yang kita sebut tidak ada keraguan siapa yang berikutnya, bagaimana ini dikembangkan dan seterusnya. Bagaimana juga proses hari itu ada terjadi sesuatu," ujar Saut dikutip dari Youtube Nusantara TV.
Kritik utamanya bukan terletak pada substansi tuduhan, melainkan pada metode yang digunakan oleh aparat penegak hukum. Baginya, cara penanganan kasus ini telah mencederai prinsip-prinsip dasar keadilan.
"Tapi sekali lagi saya konsisten dengan omongan saya sebelumnya. Cara kita mengadili Hasto ini yang tidak baik, yang tidak benar, yang tidak jujur, yang tidak adil, yang tidak menimbulkan kepastian," tegasnya.
KPK "Di-remote" dan Ironi Penegakan Hukum
Saut Situmorang melangkah lebih jauh dengan mengaitkan penanganan kasus Hasto dengan pelemahan KPK pasca-revisi undang-undang.
Ia menyoroti adanya kejanggalan pada momentum penindakan yang seolah sarat dengan muatan kepentingan dari luar, mengesankan KPK tidak lagi independen.
Baca Juga: Amnesti-Abolisi Dicap Cuma Drama Politik, Sikap Prabowo Rugikan Pemberantasan Korupsi?
"Itulah sebabnya kenapa kemudian saya selalu protes dengan pergantian undang-undang KPK itu sehingga kemudian KPK menjadi seperti diremote dari luar gitu ya. Begitu (pimpinan KPK) selesai dilantik sehari kok langsung dilakukan penindakan terhadap Hasto," ungkap Saut, menyiratkan adanya dugaan intervensi politik yang kuat.
Ia juga menyoroti ironi dalam penegakan hukum di kasus ini. Menurutnya, jika proses hukum dijalankan dengan benar dan efisien sejak awal, status hukum Hasto seharusnya sudah tuntas sejak lama, bukan menjadi polemik yang berlarut-larut hingga kini.
Fakta bahwa aktor lain dalam kasus yang sama telah selesai menjalani hukuman menjadi bukti nyata dari lambat dan tidak efektifnya penanganan ini.
"Katakan formil materinya kita berdebat, tapi cara mengadilinya yang tidak baik. Kalau saya katakan ini diadili dengan benar bahwa saat ini penerima uang itu sudah di luar penjara. Artinya kalau kita benar-benar lakukan waktu itu penindakan dengan benar, Hasto sudah enggak di dalam gitu, bukan lagi sekarang ini," jelasnya.
Amnesti Sebagai Pilihan Sulit dan Akar Masalah
Meskipun mengkritik keras prosesnya, Saut melihat intervensi presiden melalui amnesti sebagai pilihan yang mungkin harus diambil untuk mengakhiri kemelut hukum yang sudah terlanjur cacat.
Ia menempatkan tanggung jawab akhir pada presiden untuk membuat keputusan, sekalipun langkah itu berisiko menuai persepsi negatif terhadap komitmen pemberantasan korupsi.
"Formil materil Hasto kita bisa beredat dari sisi OTT-nya. Saya juga enggak ragu, tapi cara kita mengadilinya. Oke. Daripada daripada, of course presidensial kabinet kita, presiden harus menentukan dan dia bertanggung jawab di situ. Saya juga harus appreciate di situ," tuturnya.
Saut sadar betul akan potensi implikasi dari keputusan tersebut. "Walaupun nanti orang akan banyak mengatakan implikasi, oh begini cara pemberantasan korupsi. Kita bisa lihat kalau kita melihat prosesnya, bagaimana proses itu, kita enggak lepas juga putusan yang disebutnya putusan MA ketika itu."
Pada akhirnya, Saut menunjuk akar masalah yang lebih dalam, yaitu putusan Mahkamah Agung (MA) terkait kewenangan partai politik yang jika dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), berpotensi mencegah terjadinya kasus suap-menyuap tersebut. Hal ini membuka perdebatan yang lebih luas mengenai kegagalan sistemik yang menjadi pemicu kasus ini.
"Karena putusan MA waktu itu sebenarnya kalau KPU-nya menjalankan perintahnya bahwa DPP PDIP bisa menempatkan siapapun sesuai dengan putusan mereka itu sebenarnya sudah bisa dilakukan. Jadi sebenarnya itu bisa berdebat juga. Kenapa itu terjadi suap-menyuap itu gitu," papar Saut.