Suara.com - Manuver politik Presiden Prabowo Subianto kembali memanaskan spekulasi publik. Pemberian amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong, memicu narasi liar bahwa Prabowo mulai mengambil jarak dari Joko Widodo (Jokowi).
Anggapan ini didasari logika sederhana: Hasto dan Tom Lembong adalah figur yang kerap berseberangan dengan kubu Jokowi. Memberi mereka "karpet merah" hukum dianggap sebagai sinyal pergeseran loyalitas.
Namun, analis politik senior, M. Qodari, dengan tegas membantah cara pandang tersebut, menyebutnya sebagai logika yang tidak proporsional dan keliru dalam membaca dinamika kenegaraan.
Menurut Qodari, memandang langkah seorang presiden melalui kacamata hubungan pribadi adalah sebuah kesalahan fatal.
Ia menganalogikannya dengan relasi pertemanan biasa yang tidak bisa diterapkan dalam konteks mengelola sebuah negara besar seperti Indonesia.
"Nah, ini kan cara pandang yang sebetulnya pertama tidak proporsional. bahwa ini adalah persoalan hukum," ujar dia dikutip dari Youtube Cokro TV.
Yang pertama kata Qodari adalah soal prinsip dasar atau proporsionalitas bahwa kita jangan melihat persoalan ini pakai kacamata hubungan pribadi.
"Atau ya seolah-olah kan begini ketika kita berhubungan dengan si A lalu kemudian kita hubungan baik dengan si A, si A hubungannya enggak bagus dengan si B. Lalu kemudian seolah-olah kalau kita hubungan dengan si A, maka si B akan menjauh gitu atau marah kan. Loh, itu kalau urusan pribadi, ini urusan negara!" tegas Qodari.
Pendiri Indo Barometer ini menekankan bahwa tanggung jawab seorang kepala negara mengharuskannya untuk berpikir jauh melampaui sentimen personal.
Baca Juga: Pandji Pragiwaksono Mendadak Puji Kebijakan Presiden Prabowo, Netizen: Bismillah CEO BUMN
"Urusan negara itu seringkali mendiktekan atau mendiktumkan suatu cara berpikir yang sangat berbeda dengan hubungan-hubungan atau relasi-relasi pribadi," jelasnya.
Bagi seorang presiden, lanjut Qodari, menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan politik adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.
Langkah merangkul figur dari kubu yang berbeda bukanlah tanda menjauhi kawan lama, melainkan sebuah strategi untuk membangun fondasi politik yang kokoh demi stabilitas nasional.
"Kalau kacamatanya adalah kacamata kenegaraan, kacamatanya adalah kacamata presiden, kacamatanya adalah kacamata pemimpin politik, kacamatanya kacamata pemimpin pemerintah dan dan kepala negara, maka Anda harus menjaga hubungan baik dengan semua," paparnya.
"Dengan Pak Jokowi, jaga hubungan baik, dengan Ibu Mega jaga hubungan baik, dengan Pak SBY, jaga hubungan baik dengan semuanya menjaga hubungan baik," lanjut dia.
Lantas, mengapa stabilitas politik ini menjadi begitu krusial bagi Prabowo? Qodari menunjuk pada ancaman krisis global yang bisa datang kapan saja.
Menurutnya, dunia saat ini berada di bawah bayang-bayang ketidakpastian yang dapat memicu krisis ekonomi, energi, hingga pangan. Menghadapi potensi badai tersebut, seorang presiden membutuhkan dukungan politik yang solid dan luas.
Tanpa dukungan kuat, pemerintah akan lumpuh saat perlu mengambil kebijakan-kebijakan darurat yang tidak populer. Qodari menggunakan pengalaman pandemi COVID-19 sebagai contoh paling nyata.
"Nah, kalau masih masih tanya tindakan enggak biasa itu kayak gimana? Ingat COVID. Di zaman COVID itu kita mengambil tindakan yang luar biasa. Apa? Pertama, kita membatasi pergerakan semua orang. Orang enggak boleh keluar. Itu kebijakan yang sangat luar biasa. Yang sangat luar biasa. Yang membutuhkan dukungan politik yang kuat gitu," kenangnya.
Ia menggambarkan, jika saat itu dukungan politik terpecah belah, kebijakan pembatasan sosial (lockdown) pasti akan gagal total.
"Kalau tidak ada dukungan politik yang kuat, maka kemudian kebijakan itu ditolak. Ya, akan terjadi katakanlah pembangkangan di sana sini. Ketika terjadi pembangkangan, orang tetap bergerak apa berpindah satu tempat ke tempat yang lain, masih berkumpul dalam jumlah yang banyak, maka akan terjadi penularan gitu loh," papar Qodari.