Suara.com - Sebuah daftar nama yang diklaim sebagai lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 1980 kini menjadi bola panas di ruang publik.
Bukan berasal dari rilis resmi universitas, data ini justru lahir dari ranah informal yang sulit dilacak kebenarannya: pesan berantai di grup WhatsApp.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menjadi sosok yang membawa daftar "gelap" ini ke panggung utama, dengan sebuah metode yang ia sebut sebagai pancingan untuk transparansi.
Refly secara terbuka mengakui bahwa sumber datanya bukanlah kanal resmi.
Namun, ia tetap membeberkan isi daftar tersebut, yang menurutnya tidak mencantumkan nama Joko Widodo (Jokowi).
“Berikut adalah Daftar Lulusan Sipenmaru 1980 UGM Fakultas Kehutanan dan tidak ada nama Mukidi ya,” ucap Refly, dikutip dari kanal YouTube-nya, Sabtu (23/8/25).
Dalam daftar berisi 68 nama tersebut, ia menyoroti bahwa nama dengan ejaan ‘Joko’ ditulis dengan ejaan lama ‘Djoko’, dan di antara deretan nama berawalan huruf ‘J’, hanya tertera nama Joni Panji Sakti.
Lantas, mengapa menyebarkan data yang belum teruji kebenarannya? Di sinilah letak argumen utama Refly.
Ia secara sadar menggunakan data mentah ini sebagai umpan untuk memprovokasi pihak-pihak terkait agar muncul dan memberikan klarifikasi atau data tandingan
Baca Juga: Mendadak Rektor UGM Bongkar Semua Dokumen Akademik Jokowi, Ada Apa?
“Saya sebenarnya tidak tahu ya, mereka dapat sumber ini darimana. Tetapi sekali lagi, ini adalah sebuah pancingan, agar daftar ini dibantah,” aku Refly. Baginya, diamnya pihak yang dituduh bisa dianggap sebagai pembenaran oleh publik. “Karena kalau tidak dibantahnya berarti inikan sudah dianggap benar. Saya sendiri tidak berpretensi pasti benar. Karena saya tidak memiliki alat untuk mengecek kebenaran ini atau tidak,” imbuhnya.
Saat dihadapkan pada potensi fitnah dari penyebaran informasi yang belum valid, Refly berkelit dengan dalih transparansi.
Ia berpendapat bahwa karena informasi ini sudah beredar luas di lingkungan terbatas seperti grup WhatsApp, maka membawanya ke ranah publik adalah sebuah keharusan.
“Lalu kenapa harus disiarkan? Lah, kita bicara tentang transparansi. Toh ini juga sudah tersiar di grup-grup whatsapp. Jadi bukan lagi sebuah informasi yang perlu ditutupi. Tapi bisa mengandung fitnah? Fitnah itu kalau tidak benar, kalau benar gimana? Kalau ini dianggap tidak benar, maka tunjukkan yang benar itu yang mana, kan begitu,” urainya.
Strategi "adu data" ini ia anggap sebagai cara efektif untuk mencari kebenaran di tengah kebuntuan informasi.
Menurutnya, data viral semacam ini tidak bisa serta-merta diterima, namun juga tidak boleh diabaikan.