-
- Investigasi perlu engagement sejak riset hingga setelah publikasi.
- Distribusi kolaboratif dan format multi-platform membantu temuan menjangkau lebih banyak orang.
- Dampak muncul dari tindakan publik, bukan dari laporan itu sendiri.
Suara.com - Pendekatan jurnalisme investigasi tidak lagi berhenti pada tahap publikasi. Pesan itu ditekankan oleh Communications & Partnerships Manager Center for Collaborative Investigative Journalism (CCIJ), Fola Folayan, dalam sesi “Building Engagement Ecosystems Around Investigative Journalism” di Global Investigative Journalism Conference (GIJC2025) di Kuala Lumpur, beberapa waktu lalu.
Dalam pemaparannya, Fola menjelaskan bahwa ruang redaksi perlu membangun hubungan yang lebih kuat dengan komunitas, pembuat kebijakan, dan organisasi masyarakat sipil agar laporan investigatif benar-benar digunakan dan berdampak.
“Sebuah investigasi belum selesai ketika diterbitkan, investigasi selesai ketika orang mulai menggunakannya,” ujar Fola.

“Engagement adalah jembatan antara laporan kami dan perubahan nyata.”
Ia menegaskan bahwa keterlibatan publik bukan sekadar urusan visibilitas atau klik, melainkan bagaimana temuan investigasi dapat menjangkau pihak-pihak yang dapat mengambil tindakan. Karena itu, strategi engagement idealnya dimulai bahkan sebelum laporan dirilis.
Menurut Fola, newsroom dapat mulai membangun percakapan sejak tahap riset dengan menciptakan rasa ingin tahu di jaringan yang relevan.
Saat hari publikasi tiba, distribusi dapat dimaksimalkan lewat berbagai format, video pendek, rangkuman WhatsApp, podcast, hingga thread Twitter/X—agar temuan yang kompleks lebih mudah dipahami publik.
Fola juga menyoroti pentingnya distribusi kolaboratif. CCIJ, kata dia, selalu bekerja sama dengan media lokal maupun internasional untuk memastikan laporan menjangkau audiens yang beragam, baik di tingkat akar rumput maupun lintas negara.
“Saya selalu mencari pintu masuk yang manusiawi. Data itu penting, tapi orang terhubung dengan cerita manusia,” katanya, menjelaskan pendekatan human-centered storytelling.
Baca Juga: Data BPS Diragukan, CELIOS Kirim Surat Investigasi ke PBB, Ada Indikasi 'Permainan Angka'?
Bagi Fola, keterlibatan publik harus menjadi percakapan dua arah. Ia mencontohkan bagaimana CCIJ memanfaatkan radio lokal dan Twitter Spaces untuk membuka ruang tanya jawab dengan komunitas terdampak. Dengan cara itu, warga dapat memahami, mempertanyakan, hingga mengambil tindakan atas isu yang memengaruhi hidup mereka.
Dalam sesi tanya jawab, peserta menyinggung kerja sama dengan influencer dan kreator independen. Fola menilai kolaborasi semacam itu dapat memperluas jangkauan, selama dilakukan tanpa mengorbankan integritas jurnalistik.
“Saya percaya setiap rencana engagement harus melibatkan sekutu non-media—LSM, seniman, pendidik,” jelasnya. “Keterlibatan yang kuat adalah hasil dari ekosistem, bukan satu platform.”
Ia menambahkan bahwa dampak jurnalisme seharusnya tidak hanya diukur dari jumlah pembaca, tetapi dari bagaimana laporan digunakan—oleh masyarakat sipil, jurnalis lain, hingga advokat kebijakan.
CCIJ bahkan melacak bagaimana laporan dikutip, dibahas, dan dijadikan dasar aksi oleh kelompok masyarakat.
Menutup sesi, Fola kembali mengingatkan bahwa perubahan tidak datang dari cerita itu sendiri, melainkan dari respon publik.