Populisme Islam, di mana pun juga, terus berevolusi. Pada zaman Soekarno dan sebagian Orde Baru, basis sosial populisme terutama ditemukan pada golongan pengusaha kecil berkultur Islam yang posisi sosialnya sudah terancam sejak zaman kolonial.
Populisme Islam ini diekspresikan lewat berbagai kendaraan politik dan sosial, tetapi tidak mampu berkompetisi untuk menguasai negara dan ekonomi pada masa awal pasca-kolonial. Mereka kalah dari aparat birokrasi sipil maupun militer yang cenderung mengembangkan ideologi Nasionalisme.
Sementara pada zaman Soeharto, ada elemen-elemennya yang ke ‘bawah tanah’ dan menjadi gerakan yang dihantam aparat represi negara karena dianggap anti-Pancasila.
Namun, berkembangnya kelas menengah kota yang lebih relijius pada tahun 1980an dan 1990an sedikit mengubah sifat basis sosial riil/potensial tersebut.
Pada era itu, basis massa populisme Islam adalah kelas menengah yang semakin terdidik, beraspirasi sosial tinggi, tapi yang mobilitas sosialnya agak mandek karena sistem kekuasaan dan ekonomi dikuasai pihak yang dianggap bukan bagian dari umat.
![Suasana Munajat 212 di Monas, Jakarta, Kamis (21/2). [Suara.com/Fakhri Hermansya]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/02/22/96722-munajat-212.jpg)
Kekuatan Islam politik di Indonesia, terutama yang mainstream seperti NU, Muhammadiyah, masuk dalam pertarungan elite semisal dalam Pemilu atau Pilpres 2019. Bagaimana anda menilai hal ini? Apa merugikan atau justru menguntungkan Islam politik? Apakah mereka bisa memasukkan agenda-agenda alias kepentingan rakyat atau justru hanya menguntungkan segelintir elite ormas?
NU dan Muhammadiyah dalam sejarahnya cenderung berusaha untuk berdamai dengan sistem kekuasaan yang ada, walaupun kadang-kadang menjadi sumber protes juga.
Namun, kedua organisasi ini sekarang mengalami masalah, karena bahasa politik ‘moderat’-nya kalah ‘seksi’ dengan bahasa politik ‘galak’ dari organisasi-organisasi lain yang sebetulnya masih relatif baru.
Tapi terutama bagi anak muda kelas menengah dan menengah bawah yang membludak dan agak frustrasi terhadap kondisi sosial dan khawatir akan masa depan mereka, bahasa politik galak tersebut akan jauh lebih menarik.
Baca Juga: Sudah Pilih Jokowi, Warga Tabanan Bali Tolak Sandiaga
Sebab, yang sebetulnya dilontarkan adalah ide bahwa umat sudah dari dulu tertindas dan terpinggirkan oleh keserakahan ekonomi pihak non-umat yang tadinya didukung Belanda, dan kemudian oleh aparatur negara yang korup.