Solusi yang diberikan juga gampang: kurang lebih, negara yang dipimpih oleh orang bermoral, yang mempunyai kaidah-kaidah moral yang jelas sehingga segala jenis ketidakadilan, termasuk ketidakadilan sosial, bisa teratasi.
Ada pula kelompok Islam politik yang tak berbentuk partai—apalagi ikut pemilu—tapi memunyai kekuatan untuk tawar-menawar dengan elite politik. Apakah mereka sudah mencerminkan kekuatan Islam politik yang baik atau justru hanya menjadi alat?
Tentunya mereka tidak merasa sebagai alat karena mempunyai niat untuk turut serta dalam kompetisi kekuasaan sebagai agen yang otonom.
Mungkin keberhasilan membawa ratusan ribu orang pada sejumlah aksi memberikan keyakinan diri tertentu.
Namun, sebenarnya keberhasilan itu tercapai dalam konteks adanya persaingan sengit antarfaksi oligarki menjelang pilkada, pilpres, atau pemilu.
Mereka belum memunyai organisasi sampai ke akar rumput dan bersifat koheren untuk memelihara loyalitas massa, di luar waktu-waktu yang penuh gejolak politik seperti ketika ada pemilihan umum.
Maka gejolak itu pun sewaktu-waktu harus dibikin, untuk mempertahkan ’eksistensi’ politik di luar masa pemilihan itu.
Jadi, saat ini, kelompok Islam politik dan faksi oligarki mungkin lebih tepat dikatakan saling memanfaatkan.
Namun, bargaining position kelompok Islam politik terhadap oligarki dapat segera memudar setelah pilkada/pemilu.
Baca Juga: Sudah Pilih Jokowi, Warga Tabanan Bali Tolak Sandiaga
Contohnya adalah bagaimana FPI dikesampingkan dalam perayaan kemenangan Anis Baswedan tahun 2017.