Bhatara Ibnu Reza: Pasal Makar Tak Bisa Sembarangan Digunakan

Kamis, 13 Juni 2019 | 22:04 WIB
Bhatara Ibnu Reza: Pasal Makar Tak Bisa Sembarangan Digunakan
Peneliti Senior Imparsial, Bhatara Ibnu Reza. [Dok. pribadi]

Suara.com - Dalam perkembangan berbagai kasus hukum belakangan, yang sebagiannya dituding bernuansa politik karena melibatkan sosok-sosok oposan pemerintah, pasal makar jadi marak terdengar diterapkan aparat terhadap beberapa sosok yang sudah dijadikan tersangka. Sosok seperti Kivlan Zen, hingga mantan Danjen Kopassus dan mantan Kapolda Metro Jaya, termasuk di antaranya.

Sebenarnya, bagaimana penerapan pasal makar ini dalam proses hukum di Indonesia belakangan? Apakah sudah benar, ataukah jangan-jangan ada yang kurang tepat sehingga sesungguhnya perlu dipertimbangkan lagi? Bagaimana pula dengan sejarah penerapan pasal makar, khususnya di Indonesia, selama ini? Apakah memang lebih cenderung berlatar politis, atau bagaimana?

Demi coba menjawab atau menelaah beberapa pertanyaan itu, wartawan Suara.com mewawancarai salah satu peneliti senior Imparsial, Bhatara Ibnu Reza. Berikut petikan wawancara dengannya, yang dilakukan baru-baru ini:

Secara teoritik, apa sebenarnya yang disebut makar?

Makar tak bisa hanya dilihat secara teoritik. Makar sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu tindakan serangan terhadap penguasa (Pemerintah). Tetapi serangan itu dalam bentuk tindakan pakai alat atau senjata, tidak bisa hanya pernyataan dalam bentuk kata-kata. Disebut makar harus ada serangan.

Makar diterjemahkan dari kata aanslag, bahasa Belanda yang artinya penyerangan. (Kata) Makar itu berasal dari bahasa Arab yang artinya pengkhianatan.

Misalnya OPM (Organisasi Papua Merdeka) mengibarkan bendera (itu) tidak bisa disebut makar. Serangan verbal tidak bisa dikatakan makar. Yang dikatakan makar adalah serangan bersenjata terhadap penguasa.

Lantas, apa pula aksi-aksi yang bisa dikategorikan makar, kalau berdasarkan sejarah global?

Dalam sejarah global, kudeta yang gagal itu disebut makar. Kalau kudetanya menang, ya sudah, nggak disebut makar. Makar itu pemberontakan; posisinya di mana pemerintah itu diserang. Makar dalam sejarah global terjadi di banyak negara.

Baca Juga: Polri Tak Pernah Sebut Kivlan Zen dan Soenarko Dalang Kerusuhan 22 Mei

Di Amerika disebutnya treason (pengkhianatan), dan high treason buat pejabat yang menerima suap atau korup. Seperti skandal Watergate, itu masuk high treason. Kalau di Indonesia seperti pelengseran Gus Dur; tetapi tidak bisa disebut makar, karena itu masuk pelanggaran konstitusional.

Mayor Jenderal TNI Purn Kivlan Zen (kanan) berjalan meninggalkan Bareskrim Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (13/5/2019). [Antara/Akbar Nugroho Gumay]
Mayor Jenderal TNI Purn Kivlan Zen (kanan) yang belakangan jadi tersangka dan dikenakan pasal makar, meninggalkan Bareskrim Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (13/5/2019) lalu. [Antara/Akbar Nugroho Gumay]

Kalau di Indonesia, bagaimana sejarah dan konteks politik maupun hukum, sehingga muncul pasal-pasal makar?

Dalam sejarahnya, penggunaan pasal makar tidak seluas seperti sekarang. Waktu era Soekarno dan Hatta, (itu) tidak pakai pasal makar. Penggunaan pasal makar sering dilakukan di era pemerintahan Orde Baru, seperti Permadi (pengamat politik), pernah dijerat pasal makar era Soeharto.

Hal-hal seperti ini, pengunaan pasal makar yang terlalu luas, membuat teman-teman (organisasi masyarakat sipil, YLBHI, ICJR dan lain-lain --Red) melakukan uji materi pasal makar ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017.

Dalam sejarahnya, kasus makar paling banyak terjadi pada era kepemimpinan Presiden siapa?

Penggunaan pasal makar yang banyak terjadi saat Orde Baru, era kepemimpinan Soeharto. Pemerintahan Orde Baru, yang digunakan untuk mengekang orang yang melawannya kalau nggak makar, ya, subversif. Itu pun tergantung hakimnya cerdas atau tidak (memeriksa kasus dan penggunaan pasal).

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI