Robertus Robet: Soal Larangan Mudik, Semantik Kebijakan Perlu Diperhatikan

Selasa, 11 Mei 2021 | 16:03 WIB
Robertus Robet: Soal Larangan Mudik, Semantik Kebijakan Perlu Diperhatikan
Ilustrasi wawancara. Robertus Robet, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta. [ABC/Erwin Renaldi]

Suara.com - Pemerintah kembali memberlakukan larangan mudik lebaran tahun ini. Larangan mudik 2021 tidak hanya untuk mencegah masyarakat bepergian jarak jauh, tapi juga untuk mudik lokal. Harapannya agar dapat menekan laju penularan Covid-19.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah, dari mulai penyekatan jalan hingga sanksi bagi warga yang nekat mudik. Namun, sebagian warga didapati masih nekat mudik, bahkan tidak sedikit yang cari akal untuk mengelabui petugas agar lolos dari penyekatan.

Melalui acara bincang-bincang online bertajuk "Mudik Tersekat Covid-19, Gegar Budaya Kala Pandemi", Senin (10/5/2021), Suara.com coba mendapatkan perspektif mengenai hal ini dari Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dr Robertus Robet MA. Berbicara mulai dari awal mula tradisi mudik hingga kondisi saat ini yang harus berhadapan dengan penanganan pandemi Covid-19, berikut petikan tanya-jawab dengannya yang disajikan dalam wawancara khusus kali ini:

Masyarakat masih nekat mudik saat pandemi Covid-19. Ini awalnya tradisi mudik di Indonesia itu bagaimana sih?

Jadi betul bahwa mudik itu seperti yang saya bilang, dalam situasi pandemi, mudik itu bisa dilarang tapi tidak bisa dihentikan. Apakah ini salah atau benar? Saya pikir karena ini peristiwa sosial budaya, kita tidak bisa menggunakan satu ukuran yang hitam putih. Jadi harus lebih kita lihat paling jauh dalam kerangka etika dan kebudayaan.

Karena tidak bisa dihentikan, apakah lantas larangan mudik salah? Ya, sudah pasti tidak salah. Memang pemerintah berkewajiban melarang mudik, supaya tidak terjadi perluasan penularan. Itu suatu kebijakan yang benar di masa pandemi.

Tapi mengapa sih, mudik bisa dilarang, tapi tak bisa dihentikan? Hari ini kita lihat fakta-faktanya, pemerintah mengeluarkan kebijakan secara bersusulan yang lumayan ketat. Dari tanggal 6-17 Mei orang dilarang mudik, lalu disertai aturan pengetatan satu minggu sebelum dan setelah mudik untuk makin mengefektifkan kebijakan itu. Walaupun sejumlah pengamat melihat adanya inkonsistensi, dan kurang baiknya komunikasi yang membuat celah kebijakan yang membuat arus mudik tetap berlangsung.

Tetapi tanpa ada faktor inkonsistensi dan kesalahan dalam semantik sekali pun, saya kita arus mudik akan tetap berlangsung dan sulit dihentikan. Aneka macam cara dilakukan orang untuk bisa pulang kampung. Mengapa kok ada tradisi tahunan yang begitu luar biasa di Indonesia? Menurut saya ada beberapa faktor.

Pertama, faktor struktural yang berkaitan dengan ketimpangan antara desa dan kota di Indonesia, di mana desa mengalami pemiskinan yang masif, sementara di sisi lain berbagai macam kemajuan ekonomi itu ada di kota berikut segala macam fasilitas dan kehidupan yang lebih sophisticated. Proses struktural ini terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Ketimpangan desa-kota ini yang mengalirkan penduduk dari desa ke kota, urbanisasi. Orang mencari tempat yang dianggap bisa memberikan lapangan kerja sebagai akibat di desa lapangan kerja berkurang.

Baca Juga: Habib Nabil bin Ridho Al Habsyi: Bimbing Umat, Ulama Tak Bisa Jalan Sendiri

Tetapi ikatan orang terhadap desa atau kampung halamannya tidak pernah hilang. Karena desa atau kampung itu merupakan sarana reproduksi sosial, yaitu ketika si A itu pergi ke kota untuk bekerja maka ia selalu dalam posisi ambivalen. Dia memandang kota ini bukan tempat dia. Kota dipandang sebagai sumber rezeki, tapi di saat yang sama kota juga dianggap sebagai sumber masalah dan kecacatan moral. Dan desa rumah orangtuanya, selalu dipandang sebagai tempat yang baik dan luhur. Jadi selalu ada tarikan dan ambivalensi seperti itu pada orang yang bermigrasi; selalu ada tarikan yang sifatnya psikologis dan budaya untuk dia ingin selalu kembali.

Oleh karena itu, mudik itu disebut juga dengan istilah orang pulang. Orang pulang itu tidak pernah punya konotasi negatif. Jadi konstruksi kebudayaan ini yang membalut dimensi strukturalnya tadi itu. Basisnya gap ekonomi antara desa dan kota, tapi oleh karena dia menstruktur, sehingga menghasilkan praktik budaya yang kemudian dibalut dengan aneka macam nilai dan moralitas.

Ini yang menjadikan mudik itu bukan lagi semata-mata perpindahan fisik, tapi dia sekaligus tindakan etik dan kultural. Itu sulit dihentikan. Ada tarikan moral dan kultural dari orang yang merasa sebagian dirinya yang sejati ada di tempat asalnya.

Dia bukan semata-mata gerakan pulang yang biasa. Ini pulang yang didorong oleh basis gap struktural desa dan kota. Tapi lebih dari itu, ada pemaknaan, ada konstruksi struktural yang lebih kompleks dalam psikologi orang.

Kalau Suara.com memberikan istilah "gegar budaya" (untuk acara bincang-bincang ini --Red), sebenarnya mudik adalah satu arus kebudayaan. Arus kebudayaan ini yang berhadapan untuk kedua kalinya dengan satu logika medis, yaitu logika pembatasan gerak dari pandemi.

Nah, di sinilah perbenturan itu terjadi. Di satu sisi ada arus yang sedemikian besar, arus tarikan kebudayaan yang selalu ingin membawa orang untuk pulang, merengkuh kembali sumber dari nilai-nilai, perasaan, suasana, rasa kangen dari tempat mana dia berasal; tapi di sisi lain, gerak kembali ini tersekat oleh pandemi. Di situlah kita melihat pertarungan atau konflik antara rasionalitas pandemi dengan kebudayaan.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI