Suara.com - Ruangan kantor Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) di Graha Sucofindo, lantai 10, Kawasan Pancoran, Jakarta Selatan tak terbilang besar. Ruangan itu terlihat bersih dengan dinding dicat putih.
Menariknya, di dinding kantor Gaprindo, ditempelkan berbagai poster berisi slogan atau himbauan yang bertentangan dengan praktik yang selama ini dilakukan perusahaan rokok. Seperti tulisan : Bimbinglah Anak Kita Untuk Tidak Merokok, Kami Memiliki Tujuan Yang Sama Menjual Rokok Kepada 18+.
Sementara diujung meja, duduk Ketua Gaprindo Muhaimin Moefti. Sambil menyeruput secangkir kopi hitam, ia menuturkan kekecewaanya kepada Suara.com terhadap terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Menurutnya, beleid baru ini tidak adil bagi industri rokok putih yang kini pangsa pasarnya di Indonesia sudah sangat kecil, hanya 6 persen.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Muhaimin Moefti. [Suara.com/Adhitya Himawan]
“Saya tidak tahu latar belakang kenapa pengambilan keputusannya jadi seperti itu. Saya katakan aturan ini tidak seimbang, kurang fair,” kata Muhaimin, di Jakarta, Selasa (6/2/2018).
Menurutnya, pangsa pasar rokok putih terhadap industri rokok nasional sudah sangat kecil. Terbitnya kebijakan baru Kemenkeu ini hanya akan semakin memarjinalkan industri rokok putih.
Tabel perbandingan penaikan cukai rokok antara jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan Sigaret Putih Mesin (SPM). [Dok Gaprindo]
Ia membantah jika dikatakan industri rokok putih lebih mengedepankan kepentingan asing dibanding industri rokok kretek yang dianggap produk nasional. Menurutnya stigma rokok putih adalah produk asing sangat keliru. Saat ini, 40 persen kebutuhan tembakau untuk industri rokok secara keseluruhan, putih maupun kretek, harus dipenuhi dari impor. Ini karena produksi tembakau nasional memang tak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Jangan dikira kalau rokok kretek tidak membutuhkan tembakau impor,” ujarnya.
Namun Muhaimin mengakui dari sembilan perusahaan rokok putih yang menjadi anggota Gaprindo, sebagian memang perusahan asing. Ada Phillip Morris, Sampoerna, Bentoel, Tresno, PT Sumatera Tobacco Trading Company (STTC) beserta 2 sister company, Japan Tobacco International dan Korean Tobacco & Ginseng. “Memang kecuali STTC, semua anggota kami adalah perusahaan asing,” tutupnya.
Tidak demikian halnya dengan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Asosiasi industri rokok kretek ini mendukung penuh regulasi PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Menurut Ismanu Soemiran, Ketua Gappri, beleid baru tersebut sudah mempertimbangkan kontribusi industri rokok kretek nasional terhadap perekonomian Indonesia. Oleh sebab itulah perlu ada kebijaksaan tersendiri menyangkut pengenaan cukai terhadap rokok kretek.
“Ini bukan soal mana yang lebih tinggi. Bisnis itu kan masalah demand (permintaan, red). Faktanya demand rokok kretek lebih tinggi dibanding rokok putih,” kata Ismanu saat dihubungi Suara.com, Kamis (20/2/2018).
Selain itu, Ismanu menegaskan bahwa industri rokok kretek merupakan industri padat karya. Sebab proses produksi rokok kretek ada yang melibatkan tangan manusia dan ada juga yang mesin. Sementara produksi rokok putih sepenuhnya mengandalkan mesin.
“Saya kira pemerintah mempertimbangkan faktor ini. Jadi bukan masalah soal anak emas atau bukan,” ujarnya.