Dari total keseluruhan barang atau aset berupa bidang tanah 10.013.837 M2 atau sekitar 83% (delapan puluh tiga persen) dan menyisakan tanah dan bangunan seluas 1.918.752 (satu juta sembilan ratus delapan belas ribu tujuh ratus lima puluh dua meter persegi) atau sekitar 17% (tujuh belas persen) yang belum dirampas dan diserahkan kepada negara c.q. Bank Indonesia.
Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI telah melakukan penelusuran guna mencari sisa tanah yang belum dirampas dan dikembalikan kepada negara. Pada tahun 2017 berlokasi di Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang PPA Kejaksaan Agung RI menemukan dan melakukan pemasangan plang yang menandakan bahwa tanah tersebut milik negara.
Plang atau penanda dari PPA Kejaksaan Agung RI tersebut dipasang dibeberapa lokasi yang tersebar di Desa Dadap tersebut.
Kini plang atau penanda yang dipasang tersebut telah dilepas dan tidak lagi berada dilokasi yang dipasang oleh PPA Kejaksaan Agung RI. Lokasi tanah tersebut kini telah diurug dan dikuasai oleh sekelompok orang untuk digunakan area pengembangan developer.
Lokataru pada 23 Juni 2020 telah bersurat kepada Kepala Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI dengan tujuan menanyakan perkembangan penanganan pemulihan aset atas nama terpidana Lee Darmawan. Akan tetapi berdasarkan balasan yang diterima melalui surat tertanggal 07 Agustus 2020, PPA Kejaksaan Agung RI menyatakan bahwa pemulihan aset milik Lee Darmawan Kartahardja Harianto dilakukan secara tertutup.
Penutup
Dari kasus-kasus tersebut, ada beberapa praktik lazim yang kerap digunakan oleh Mafia Tanah yaitu:
- Pemalsuan girik, akta jual beli, dan pengambil alihan dokumen pajak dengan cara bekerjasama dengan oknum di pemerintahan dan pejabat pembuat akta tanah.
- Mengganggu Pemilik tanah yang sah dengan cara dibuat menjadi tidak nyaman dengan cara seperti: Penutupan jalan, membangun bangunan fisik seperti pagar dan seng disekitar wilayah tanah. Digunakannya oknum-oknum preman untuk menekan para pemilik tanah supaya menjual tanah miliknya dengan harga yang murah. Penguasaan fisik dengan cara memasang plang dan tenda diatas tanah tersebut yang mengatas namakan oknum preman. Pengerusakan batas atau patok pemilik tanah oleh oknum preman.
- Pelaporan dugaan tindak pidana kepada pemilik tanah yang sah di Kepolisian; bahkan hingga gugatan pembatalan sertifikat melalui PTUN
- Pada saat pengadilan telah memberikan kekuatan hukum pada pemilik sah, kondisi lapangan telah dikuasai oleh organisasi preman sehingga putusan tidak dapat dijalankan.
- Penggunaan aparat dan preman untuk menakut-nakuti warga yang masih ingin mempertahankan tanahnya.
"Dari keseluruhan kasus-kasus tersebut, apakah korbannya individu, masyarakat luas, perusahaan, bahkan negara memperlihatkan bahwa tujuan utama Mafia Tanah adalah menjadikan asset tanah sebagai sarana pengembangan tujuan bisnis yang lebih besar dengan cara-cara melawan hukum. Karena itu, Lokataru berpendapat bahwa kasus-kasus semacam ini haruslah menjadi prioritas," pungkasnya.
Baca Juga: Korban Rugi Rp 180 M, Polisi Bidik Tersangka Mafia Tanah di Kebon Sirih