Suara.com - Pasar keuangan global menunjukkan dinamika yang berbeda pada Rabu (21/5/2025 atau Kamis untuk zona waktu WIB), dengan Wall Street yang anjlok tajam sementara bursa Asia-Pasifik ditutup bervariasi. Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) dan kekhawatiran baru mengenai defisit anggaran AS menjadi pemicu utama aksi jual masif di pasar saham Paman Sam.
Sementara itu, di tengah sentimen global, Bank Indonesia (BI) justru mengambil langkah tak terduga dengan menurunkan suku bunga acuan.
Indeks-indeks utama di Wall Street mencatatkan penurunan signifikan. Indeks Dow Jones Industrial Average ambruk 1,91%, diikuti oleh S&P 500 yang melemah 1,61%, dan Nasdaq Composite terkoreksi 1,41%. Tekanan jual ini sebagian besar disebabkan oleh melonjaknya imbal hasil obligasi pemerintah AS.
Imbal hasil obligasi 30 tahun AS melonjak ke level 5,09%, mencapai titik tertinggi sejak Oktober 2023. Sementara itu, imbal hasil obligasi acuan 10 tahun juga naik ke 4,59%. Kenaikan imbal hasil ini dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) anggaran baru yang dinilai akan memperburuk defisit fiskal AS. RUU tersebut diperkirakan akan disahkan menjelang tenggat waktu Memorial Day oleh Ketua DPR Mike Johnson, setelah tercapainya kompromi mengenai pemotongan pajak negara bagian dan lokal.
Di sisi saham individu, beberapa emiten besar juga mengalami tekanan. Saham Target anjlok 5,2% setelah perusahaan memangkas proyeksi penjualan tahunan. Manajemen menyebut ketidakpastian tarif serta reaksi publik terhadap penarikan program keberagaman sebagai faktor utama penyebab penurunan tersebut. Saham UnitedHealth juga terpukul, menurun 5,8%, setelah mendapatkan penurunan peringkat dari HSBC. Bahkan, raksasa teknologi seperti Apple dan Amazon turut terkoreksi signifikan akibat dampak dari kenaikan imbal hasil obligasi yang meningkatkan biaya pinjaman bagi perusahaan.
Pasar Saham Asia-Pasifik Bervariasi, BI Turunkan Suku Bunga
Berbeda dengan Wall Street yang terpuruk, pasar saham di kawasan Asia-Pasifik menunjukkan pergerakan yang bervariasi pada Rabu (21/5), meskipun sentimen global cenderung negatif. Di Jepang, indeks Nikkei 225 melemah 0,61% dan Topix turun 0,22%. Namun, bursa saham lainnya di kawasan ini justru menguat.
Indeks Kospi Korea Selatan naik 0,91% dan Kosdaq menguat 1,13%. Di Australia, indeks S&P/ASX 200 bertambah 0,52%. Sementara itu, di Hong Kong, indeks Hang Seng naik 0,51%, indeks CSI 300 China menguat 0,47%, dan indeks Taiex Taiwan melonjak 1,29%.
Pasar di Asia-Pasifik juga mencermati rilis data ekonomi dari berbagai negara di kawasan. Jepang mencatatkan perlambatan ekspor untuk bulan kedua secara beruntun, di tengah tekanan dari kebijakan tarif impor besar-besaran yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump.
Baca Juga: IHSG Masuk Fase Konsolidasi, Tunggu Keputusan BI Rate
Di sisi domestik, Bank Indonesia (BI) membuat kejutan dengan memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan (BI-rate) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 20-21 Mei 2025. Kebijakan ini berpotensi memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi domestik di tengah ketidakpastian global.
IHSG: Potensi Koreksi di Tengah Tekanan Global
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan kemarin, Rabu (21/5), ditutup menguat 0,67%. Penguatan ini disertai dengan aksi net buy asing yang cukup signifikan, mencapai sekitar Rp993 miliar. Saham-saham yang paling banyak diborong oleh investor asing antara lain adalah BBCA, ANTM, BBRI, BMRI, dan GOTO.
Meskipun menguat kemarin, IHSG pada perdagangan hari ini, Kamis (22/5), berpotensi mengalami koreksi jika gagal menembus level resistance di 7170.
Analisis harian BNI Sekuritas mengungkapkan, support IHSG hari ini berada di angka 7040 - 7070 dan resistance pada zona 7170 - 7230.
Investor perlu mencermati pergerakan pasar global, terutama sentimen dari AS, serta dampak dari kebijakan penurunan suku bunga BI terhadap pasar saham domestik.