Suara.com - World Bank atau Bank Dunia melaporkan bahwa jumlah angka kemiskinan di Indonesia melonjak drastis hingga menyentuh angka 194,6 juta jiwa.
Hal ini berdasarkan laporan bertajuk "June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform" secara resmi mengubah standar garis kemiskinan global.
Adapun, perubahan perhitungan dari paritas daya beli (purchasing power parities/PPP). Dari semula PPP 2017 menjadi PPP 2021 yang telah dipublikasikan oleh International Comparison Program (ICP) pada Mei 2024.
Menanggapi ini, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan data yang dimiliki Bank Dunia menggunakan metode baru.
Sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) masih menggunakan metode lama. Tentunya perhitungan metode ini membuat angka kemiskinan Indonesia semakin tinggi.
"Sebenarnya faktor utama terletak pada metodologi BPS tertinggal karena sejak 1976 tidak dilakukan pembaruan metode dalam menghitung garis kemiskinan," katanya saat dihubungi Suara.com, Selasa (10/6/2025).
"Sementara Bank Dunia terus melakukan updating disesuaikan dengan variabel PPP atau paritas daya beli yang menunjukkan tren dinamis pergerakan konsumsi dan biaya hidup masyarakat," tambahnya.
Dia pun meminta solusinya agar BPS perlu segera melakukan revisi garis kemiskinan dengan ajak akademisi independen dan lembaga internasional. Sebab, agar jumlah rakyat miskin di Indonesia bisa terdata dengan benar.
"Khawatir jumlah orang miskin yang understatement berisiko membuat bantuan sosial tidak mengcover penduduk yang sebenarnya masuk kategori miskin," tandasnya.
Baca Juga: Ironi Data Kemiskinan BPS: Terlilit Utang Pinjol hingga Jual Tanah untuk Anak Sekolah Bukan Patokan
Metode Hitungan Bank Dunia
PPP sendiri merupakan standar pengukuran untuk menentukan perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang atau jasa yang sama di satu negara dengan negara lain, setelah nilai tukar disesuaikan.
Namun, nilai dollar AS yang digunakan pada PPP bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini, melainkan paritas daya beli.
Dengan mengadopsi PPP 2021, terjadi perubahan atas tiga lini garis kemiskinan. Untuk garis kemiskinan internasional (international poverty line), atau yang biasanya menjadi ukuran tingkat kemiskinan ekstrem, dari semula 2,15 dolar AS pada PPP 2017 menjadi 3.00 dolar AS berdasarkan PPP 2021.
Berdasarkan laporan Bank Dunia edisi April 2025 yang masih menggunakan PPP 2017, persentase penduduk miskin di Indonesia tercatat 60,3 persen dari total populasi pada 2024. Namun, dengan update terbaru menggunakan PPP 2021, angka itu melonjak drastis menjadi 68,2 persen dari total populasi 2024.
![Warga beraktivitas di pemukiman padat penduduk di kawasan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/05/04/29373-pemukiman-padat-penduduk-ilustrasi-penduduk.jpg)
Untuk Indonesia, Bank Dunia mengkategorikannya sebagai negara berpendapatan menengah atas sejak 2023 setelah mencapai gross national income (GNI) atau pendapatan nasional bruto sebesar US$ 4.580 per kapita.
Perubahan atas acuan tersebut turut membuat jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat drastis. Sebelumnya pada laporan Poverty & Equity Brief edisi April 2025, Bank Dunia mencatat persentase penduduk miskin RI mencapai 60,3 persen dari total populasi pada 2024.
Sedangkan kini, berdasarkan data Poverty and Inequality Platform Bank Dunia, bila menggunakan perhitungan PPP 2021 dengan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas US$ 8,30, maka persentase penduduk miskin di Indonesia melonjak ke 68,25% dari total populasi sebanyak 285,1 juta jiwa berdasarkan Susenas 2024 Badan Pusat Statistik (BPS).
Dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 285,1 juta jiwa menurut Susenas 2024 BPS, maka 68,2 persen penduduk miskin itu setara dengan 194,4 juta orang! Artinya, jika kita berjalan di Indonesia, setiap 3 orang yang kita temui, 2 di antaranya tergolong miskin berdasarkan standar Bank Dunia.
Kemiskinan merupakan isu kompleks yang menghantui berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Masyarakat miskin seringkali diidentifikasi sebagai kelompok yang memiliki keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, sanitasi, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Kondisi ini diperparah dengan kerentanan terhadap bencana alam, perubahan iklim, dan fluktuasi ekonomi. Kemiskinan bukan hanya sekadar masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan multidimensional.
Lingkungan tempat tinggal yang tidak layak, kurangnya lapangan pekerjaan, tingkat pendidikan yang rendah, serta diskriminasi menjadi faktor-faktor yang saling terkait dan memperburuk kondisi masyarakat miskin.