Suara.com - Pemerintah berencana memberlakukan aturan baru pada 2026, yang mana pembelian gas LPG 3 kilogram (kg) akan diwajibkan menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Kebijakan ini merupakan langkah strategis untuk memastikan subsidi energi yang selama ini digelontorkan benar-benar sampai kepada masyarakat yang berhak.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa langkah ini krusial untuk menata ulang sistem distribusi agar lebih adil dan efisien.
Namun, di balik tujuan mulia tersebut, muncul pertanyaan besar di benak publik: seberapa efektif kebijakan ini dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat luas?
Mengurai Benang Kusut Subsidi LPG
Selama bertahun-tahun, subsidi LPG 3 kg, yang populer dengan sebutan 'gas melon', menjadi penopang utama kebutuhan dapur masyarakat Indonesia, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Namun, ironisnya, kenikmatan subsidi ini juga seringkali salah sasaran. Tidak sedikit kelompok masyarakat mampu, bahkan sektor usaha komersial, yang turut menikmati harga murah gas melon.
Akibatnya, beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus membengkak, sementara tujuannya untuk mengentaskan kemiskinan tidak tercapai optimal.
Pemerintah melihat penggunaan NIK sebagai solusi untuk memitigasi kebocoran ini.
Dengan mewajibkan pencatatan transaksi menggunakan KTP, setiap pembelian akan terdata secara digital.
Baca Juga: Pemerintah Ubah Penyaluran LPG 3 Kg, Masyarakat yang Masuk Kelompok Ini Boleh Beli
Data ini kemudian akan dicocokkan dengan data terpadu kesejahteraan sosial yang dikelola oleh pemerintah. Salah satunya melalui kerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
Plt. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan bahwa penataan subsidi ini adalah sebuah keniscayaan.
"Yang jelas semakin ke sini kan subsidi harusnya semakin tertata, pokoknya gitu. Gimana caranya menata ya salah satunya dengan itu (NIK)," ujarnya.
Mekanisme dan Batasan Pembelian
Implementasi kebijakan ini tidak hanya berhenti pada kewajiban menunjukkan KTP.
Pemerintah juga berencana memperketat aturan mainnya, termasuk membatasi frekuensi pembelian.
Nantinya, satu NIK kemungkinan hanya diperbolehkan membeli LPG 3 kg sekali dalam sehari.
Langkah ini diambil untuk mencegah penimbunan dan praktik jual-beli kembali (pengecer tidak resmi) yang kerap memicu kelangkaan dan kenaikan harga di tingkat konsumen.
Meskipun pembelian diperketat, pemerintah memastikan keberadaan subpangkalan atau warung pengecer resmi akan tetap dipertahankan.
Hal ini penting untuk menjaga aksesibilitas masyarakat, terutama di daerah-daerah pelosok.
Proses pendataan dan pendaftaran pembeli LPG 3 kg menggunakan KTP sebenarnya telah dimulai sejak 2023 dan terus berjalan.
Hingga April 2024, PT Pertamina (Persero) mencatat sudah ada 41,8 juta NIK yang terdaftar, mencakup berbagai sektor mulai dari rumah tangga hingga usaha mikro.
Dari Subsidi Barang ke Subsidi Orang
Kebijakan pembelian LPG 3 kg menggunakan NIK merupakan bagian dari peta jalan transformasi subsidi energi yang lebih besar.
Pemerintah secara bertahap ingin mengubah mekanisme subsidi dari yang berbasis komoditas (barang) menjadi berbasis orang (penerima manfaat).
Tujuannya jelas: agar bantuan pemerintah diterima langsung oleh individu atau keluarga yang membutuhkan, bukan lagi "dinikmati" oleh semua orang tanpa terkecuali.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa gas melon sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat yang masuk dalam kategori desil 1 hingga 4, atau 40 persen kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah.
"Jadi, kalian jangan pakai LPG 3 kg lah, desil 8, 9, 10 saya pikir mereka dengan kesadaran lah," imbau Bahlil.
Kesadaran dari kelompok mampu untuk tidak menggunakan produk bersubsidi menjadi kunci keberhasilan program ini.
Tantangan dan Harapan di Masa Depan
Meskipun di atas kertas tampak ideal, penerapan kebijakan ini bukannya tanpa tantangan.
Akurasi data menjadi isu sentral. Sinkronisasi antara data pembeli di lapangan dengan data kemiskinan dari BPS harus berjalan mulus untuk menghindari eksklusi masyarakat miskin yang belum terdata.
Selain itu, kesiapan infrastruktur digital di seluruh pangkalan LPG hingga ke pelosok negeri juga menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah.
Di sisi lain, kebijakan ini menjanjikan harapan baru akan terwujudnya keadilan sosial melalui subsidi yang tepat sasaran.
Jika berhasil, triliunan rupiah uang negara yang selama ini "bocor" dapat dialihkan untuk program-program pembangunan lain yang lebih produktif, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Langkah pemerintah mewajibkan penggunaan NIK untuk membeli LPG 3 kg pada 2026 adalah sebuah pertaruhan besar.
Keberhasilannya tidak hanya bergantung pada kesiapan sistem, tetapi juga pada partisipasi dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat.
Apakah Anda siap menjadi bagian dari transformasi ini demi subsidi yang lebih berkeadilan? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar di bawah ini.