Guru Besar UGM Prof Nindyo Pramono: Kerugian BUMN Bukan Korupsi, Asal Penuhi Prinsip Ini

M Nurhadi Suara.Com
Sabtu, 18 Oktober 2025 | 22:08 WIB
Guru Besar UGM Prof Nindyo Pramono: Kerugian BUMN Bukan Korupsi, Asal Penuhi Prinsip Ini
Guru Besar Ilmu Hukum Bisnis UGM Profesor Nindyo Pramono.
Baca 10 detik
  • Direksi BUMN dilindungi doktrin Business Judgment Rule dari kerugian bisnis.
  • Prinsip GCG dan TARIF menjadi syarat utama perlindungan hukum tersebut.
  • Kerugian bisnis BUMN merupakan risiko korporasi, bukan kerugian negara.

Suara.com - Kerugian yang dialami Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akibat sebuah keputusan bisnis tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Selama direksi mengambil keputusan dengan itikad baik dan melalui prosedur yang benar, mereka berhak mendapatkan perlindungan hukum, sekalipun keputusan tersebut pada akhirnya tidak menghasilkan keuntungan.

Penegasan krusial ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Profesor Nindyo Pramono, saat menjadi ahli dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry.

Dalam keterangannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (16/10/2025), Prof Nindyo menguraikan pentingnya doktrin Business Judgment Rule (BJR) dan prinsip Good Corporate Governance (GCG), sebagai benteng hukum bagi para pengambil keputusan di korporasi, termasuk BUMN.

Menurutnya, dunia bisnis selalu dipenuhi ketidakpastian. Oleh karena itu, hukum bisnis menyediakan sebuah doktrin yang melindungi direksi dari risiko hukum atas keputusan yang terbukti merugi.

“Tidak ada keputusan bisnis yang bisa menjamin pasti untung. Yang penting, direksi telah menjalankan kewenangan sesuai undang-undang, anggaran dasar, dan prinsip kehati-hatian. Jika semua itu dipenuhi, direksi berhak mendapatkan perlindungan BJR meskipun hasilnya merugi,” ujar Prof Nindyo di hadapan majelis hakim.

Ia menambahkan, selama sebuah keputusan bisnis diambil demi kepentingan perseroan dan dijalankan secara profesional, maka potensi kerugian yang timbul harus dipandang murni sebagai risiko bisnis (business risk), bukan sebagai sebuah perbuatan melawan hukum yang berkonsekuensi pidana.

GCG dan ‘TARIF’ sebagai Kunci Legitimasi

Lalu, bagaimana cara membuktikan bahwa sebuah keputusan telah diambil dengan kehati-hatian dan itikad baik?

Baca Juga: Blak-blakan di Sidang ASDP, Mantan Wakil Ketua KPK: Hapus Pasal 'Kerugian Negara'

Nindyo menjelaskan bahwa kuncinya terletak pada penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang konsisten.

GCG bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah sistem yang memastikan perusahaan dikelola secara transparan, akuntabel, dan profesional.

“Selama proses pengambilan keputusan dilakukan melalui mekanisme yang benar—melibatkan dewan komisaris, pemegang saham, dan sesuai peraturan internal—maka langkah direksi sudah comply dengan prinsip GCG,” jelasnya.

Dalam konteks BUMN, Prof. Nindyo menyoroti prinsip “TARIF” yang menjadi fondasi utama pelaksanaan GCG.

Prinsip ini merupakan akronim yang memuat lima pilar tata kelola perusahaan yang baik.

“TARIF itu singkatan dari Transparency, Accountability, Responsibility, Independence, dan Fairness. Jika kelima prinsip ini dijalankan, direksi dan manajemen telah berada di jalur yang benar,” ujarnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI