Suara.com - Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan bahwa kriminalisasi rentan terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi target ekspansi perkebunan, ESDM dan perhutanan komersial serta pembangunan infrastruktur.
“Namun, hal ini tidak terbatas pada kepentingan pragmatis perekonomian saja. Kriminalisasi terjadi ketika pemerintah dan aparat penegak hukum abai pada prosedur, tipis keberpihakan, serta minim kompentensi,” ujar Sekjen KPA, Dewi Kartika, di gedung YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).
Ia mengatakan hal tersebut dapat terlihat dari keterbatasan penyusun RKUHP untuk mengantisipasi potensi kriminalisasi dalam naskah RKUHP. Demikian pula, minimnya pemahaman negara yang menangkap dan menahan tiga petani Soppeng, Sulawesi Selatan dengan tuduhan merusak kawasan hutan.
Padahal, jelasnya, ketiga petani tersebut lahir dan besar di kawasan hutan serta sehari-hari mencari nafkah dilokasi yang sama. Pemerintah dan aparat penegak hukum juga melakukan kriminalisasi terhadap dua masyarakat Agam karena menebang pohon di atas tanah ulayatnya sendiri.
Empat orang masyarakat adat Semende Banding Agung di Kabupaten Kaur Bengkulu harus mendekam selama tiga tahun karena dijerat dengan UUP3H. Begitu juga yang terjadi pada Bachtiar bin Sabang di Desa Turungan Banji Sinjai yang divonis hakim selama 1 tahun kurungan penjara serta denda Rp500 juta.
Seharusnya negara berpedoman pada putusan MK No.95/PUU-XII/2014 tentang uji materi UU no.41 tahun 1999 dan UU P3H yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan pada masyarakat yang hidup secara turun temurun dalam kawasan hutan dan tidak untuk kepentingan komersil. Dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, negara patut memperhatikan UU no.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa ketentuan pidana dalam UU atau peraturan daerah sifatnya hanyalah “bila diperlukan”.
“Artinya, tidak ada kewajiban bagi undang-undang ataupun perda mencantumkan pidana,” katanya.
Dari dokumentasi kasus yang tercatat di KPA, Walhi, Kontras, YLBHI, Soliper, dan AMAN dapat ditarik pola umum yang terjadi pada kriminalisasi tersebut.
Selain itu, Ketua Soliper Puspa Dewi juga menjelaskan jika dari berbagai konteks, perempuan mengalami dampak berlapis dari kriminalisasi. Kontruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai penjaga moral juga stigma, diskriminasi, pengucilan, kekerasan dan marjinalisasi terhadap perempuan yang dianggap melanggar peraturan yang terjadi mulai dari tingkat keluarga, komunitas hingga masyarakat.
“Apalagi, kriminalisasi terhadap perempuan seringkali bersumber pada kebijakan maupun praktik sosial yang menyasar tubuh dan ruang gerak perempuan dengan mengatas namakan agama dan kralitas,”jelas Puspa Dewi.
Hal tersebut, lanjutnya, mengakibatkan perempuan kehilangan sumber mata pencaharian dan tidak bisa mengakses ruang-ruang publik, termasuk ruang sosial perempuan dan ruang pengambilan keputusan.
Tak hanya itu, perempuan pun kerap dilekatkan dengan peran penjaga keluarga dan komunitas sehingga turut mengalami beban dan ketidak adilan berlapis ketika keluarga, suami, atau ayahnya mengalami kriminalisasi.
Angka terbesar untuk sektor kriminalisasi bersumber dari kasus masyarakat adat seperti disebutkan oleh Ketua YLBHI Asfinawati, tertundanya pengesahan RUU masyarakat adat di DPR RI membuat
Permasalahan yang menimpa masyarakat adat terus bertambah.
Tidak adanya payung hukum khusus justru melanggengkan praktek kriminalisasi oleh negara untuk melemahkan penolaka. Masyarakat adat terhadap proyek-proyek besar diatas wilayah adatnya. Seringkali pula korban kriminalisasi adalah kepala adat atau orang yang sangat berperngaruh di gerakan masyarakat adat. Nasional Inkluiri Komnas HAM (2014) adalah salah satu bukti kuat adanya pelanggaran atas hak-hak masyarakat adat.
Asipfinawati juga menyampaikan jika hukum acara pidana mempermudah kriminalisasi itu terjadi. Pada masa penyidikan antara lain terbatasnya due process of law bagi persengketaan, keterangan di luar sidang yaitu BAP yang di jadikan bukti hingga membuka ruang penyiksaan, masa penahanan yang lama dan tidak adanya due process of law tentang perlunya penahanan ini.