Dua orang militer berdebat mengenai hal tersebut. Cleon—jenderal perang Athena—menganjurkan mengerahkan pasukan untuk membumihanguskan Mytilene. Ia beralasan, invasi itu perlu dilakukan agar menjadi contoh bagi sekutu Athena lain untuk tidak memberontak.
Namun, argumentasi Cleon disanggah oleh Diodotus. Ia mengatakan, invasi itu tak perlu dilakukan. Sebagai alternatif, Athena harus merangkul serta menaruh orang-orangnya pada institusi militer dan pemerintah sipil Mytilene. Dengan begitu, sumber daya alam dan manusia di Mytilene bisa tetap aman dan digunakan untuk kepentingan peperangan Athena.
Sidang Athena lantas menerima argumen Diodotus, yang disebut-sebut sebagai praktik politik hegemoni alias penguasaan secara persuasif kali pertama dalam sejarah politik.
”Dengan demikian, Debat Mytilene dalam buku Thucydides itu hendak menyatakan bahwa Athena melakukan pendekatan lunak ketimbang militer untuk menguasai suatu negeri,” simpul Julia Kindt.
Namun, sisi lain Athena yang berbeda justru muncul dalam Dialog Melian. Dalam catatan Thucydides ini, para petinggi Athena ditampilkan dalam wajah pongah, angkuh. Mereka menggelar dialog demokratis mengenai ”Haruskan Melian (koloni Sparta) tetap dibiarkan damai atau tak diperangi dan tidak pula dimintakan upeti?”
Persoalan itu mengemuka setelah para petinggi Melian mengajukan permohonan damai dan menyampaikan sikap mereka yang netral alias tak memihak tatkala Athena berperang dengan Sparta.
Tapi, pemerintah Athena justru memutuskan hal yang mengejutkan melalui kalimat yang kerap dikutip Prabowo dalam sejumlah kesempatan.
Kalimat lengkapnya seperti ini:
”Standar keadilan bergantung pada kesetaraan kekuatan untuk memaksa, dan bahwa pada kenyataannya, yang kuat melakukan apa yang mereka bisa lakukan dengan kekuatannya. Sementara yang lemah menerima apa yang mereka bisa terima.” (Thucydides, 5:89)
Baca Juga: Atasi Konvoi Berisik, Polresta Surakarta Lakukan Layanan Keren
Yang mungkin luput diketahui, atau tak disampaikan Prabowo saat debat adalah, kalimat tersebut tak bermakna positif pada Thucydides maupun para intelektual kekinian. Sebaliknya, Ia hendak menekankan negeri yang mengedepankan diktum tersebut justru bakal runtuh, seperti Athena ataupun Sparta.
Julia Kindt misalnya, mengasosiasikan kalimat ”Yang kuat akan berbuat sekehendaknya yang lemah harus menderita” itu dengan kemunculan populisme kanan pada era kekinian seperti naiknya Donald Trump sebagai Presiden AS.
”Alur pemikiran (Thucydides) ini masih bergema. Khususnya sekarang, ketika populisme muncul kembali. Para politikus menyadari kekuatan kata-kata untuk memengaruhi sentimen publik dan pengambilan keputusan yang menyakitkan,” tulisnya.
Profesor Harvard Kennedy School, Graham Tillet Allison, dalam buku berjudul Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’ Trap? (2017), bahkan memopulerkan istilah ”Thucydides Trap” alias ”perangkapThucydides”.
Bagi Allison, frasa ”Yang kuat akan berbuat sekehendaknya, yang lemah harus menderita”, justru merupakan perangkap yang harus dihindari oleh para politikus maupun petinggi militer kekinian.
Ia mengtakan, perangkap Thucydides itu adalah ”Sebuah situasi di mana pertumbuhan kekuatan suatu negara yang meningkat, justru menimbulkan ketakutan negara lain yang jauh lebih mapan, dan mau tak mau, ketakutan itu mengarah pada perang.” (Allison hlm Xv).