Hak korban, kata Haris, antara lain yakni untuk mendapatkan keadilan, kebenaran, pemulihan, mendapatkan kepuasan, dan jaminan ketidakberulangan.
Namun, kata Haris, prinsip-prinsip KKR tersebut harus tertuang dalam instrumen hukum yang tegas, semisal melalui keputusan presiden.
"Keppres ini harus punya legalisasi, punya ikatan yang kuat. Keppres adalah manifestasi negara mengakui bertanggung jawab dan akan mengambil tindakan. Tindakannya tidak perlu terburu-buru. Muncul misalnya di periode yang lalu, ini dua, tiga bulan akan selesai. Enggak bisa. Persoalannya terlalu berat dan dibiarkan terlalu lama, sehingga bekasnya cukup dalam," ucap Haris.
"Untuk itu harus dibangun proses healing, bahkan healing bangsa kalau menurut HS Dillon membuat orang berpartisipasi. Membuat orang yang dikorbankan, keluarga korban berpartisipasi, dan akan membangun kepuasan mereka," sambungnya.
Haris mengatakan, setelah keppres yang dimaksud diterbitkan, pemerintah baru bisa membuat KKR guna menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Tapi, untuk mewujudkan itu semua, menurut Haris, bukanlah hal yang mudah terutama bagi Presiden Jokowi.
Pasalnya, Haris menduga terdapat pihak di jajaran pemerintahan Jokowi yang diduga terlibat pada sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Nah cuma masalahnya, apa mungkin Pak Mahfud bisa meyakinkan presiden untuk mengambil tindakan-tindakan itu, yang pada saat bersamaan, di sebelahnya ada Prabowo, di belakangnya ada Hendropriyono, di sebelah kanannya ada Wiranto, ada juga Megawati yang mengeluarkan keppres tentang Darurat Militer di Aceh. Itu tantangannya,” kata Haris.
Baca Juga: Mahfud MD Mau Hidupkan KKR Lagi, Moeldoko: Itu Mungkin Terjadi