"Ini ada hubungannya dengan cara kami menjelaskan identitas nasional kami di sini, di Teluk. Kami terutama menekankan homogenitas di antara masyarakat kami, pada kesamaan yang kami miliki,” katanya kepada DW.
"Kami tidak merayakan heterogenitas kami dalam wacana sehari-hari kami."
Maddah G. tidak dapat membayangkan bahwa ada sesorang di komunitasnya akan bersedia berbicara tentang asal-usul Afrika mereka dan fakta bahwa banyak orang Afrika dibawa ke sini sebagai budak.
"Selama tidak ada yang malu akan kakek-nenek mereka dulu memiliki budak, tidak bisa diharapkan bahwa orang Arab Hitam nyaman dengan masa lalu mereka sendiri," katanya.
Perubahan lambat sedang berlangsung
Namun, beberapa negara di kawasan Teluk telah mengambil langkah awal untuk mengakui warisan perbudakan.
Qatar membuka Bin Jelmood House, museum pertama yang berfokus pada perbudakan di dunia Arab, di Doha pada tahun 2015.
Museum ini secara eksplisit menunjukkan tentang peran Qatar dalam perdagangan budak yang dan menyoroti kehidupan berat para korbannya.
"Perkembangan begitu cepat di Qatar, kami ingin melihat bagaimana keadaan berubah, bagaimana Qatar dipengaruhi oleh perbudakan dan bagaimana budak diintegrasikan ke dalam masyarakat," Hafiz Abdullah, manajer museum, mengatakan kepada kantor berita Reuters.
Baca Juga: Polri Selidiki Kasus Dugaan Perbudakan Terkait Penemuan Karangkeng di Rumah Bupati Langkat
Museum secara eksplisit menghubungkan perdagangan budak di masa lalu dengan perdagangan manusia dan kerja paksa saat ini.