23 Tahun UU Pers: Stagnasi Kebebasan dan Potret Buram Jurnalis Indonesia

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 23 September 2022 | 16:12 WIB
23 Tahun UU Pers: Stagnasi Kebebasan dan Potret Buram Jurnalis Indonesia
Jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Ciamis Melawan menggelar aksi solidaritas di Alun-alun Ciamis, Jawa Barat, Kamis (20/5/2021). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung. [Suara.com/Adhitya Himawan]
Aksi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia. [Suara.com/Adhitya Himawan]

Terakhir keamanan, kasus kekerasan terhadap jurnalis masih marak terjadi di berbagai daerah.

Bahkan ketika pandemi, kekerasan terhadap jurnalis masih tercatat tinggi. Tapi ironis, pelaku kekerasan terhadap jurnalis adalah personel polisi yang semestinya melindungi masyarakat, termasuk jurnalis.

Perlu Terobosan Baru

Kemerdekaan pers yang stagnan membuktikan komunitas pers membutuhkan terobosan-terobosan yang baru untuk mendorong kemerdekaan pers yang penuh. Akan mustahil, kita mendapatkan hasil yang berbeda jika tindakan atau cara yang dilakukan tetap sama.

Organisasi pers baik dari jurnalis, perusahaan media, dan orang atau organisasi yang peduli dengan pers perlu berupaya lebih keras dalam kolaborasi, perencanaan, perumusan strategi, hingga pelaksanaan. 

Setidaknya dalam empat indikator di atas, komunitas pers perlu memastikan perubahan yang mendukung kebebasan pers.

Dalam lingkup kecil, komunitas pers bisa merumuskan solusi-solusi atas persoalan di atas kemudian dipastikan adanya perubahan di kementerian atau lembaga terkait. Namun, dalam lingkup yang lebih luas, komunitas pers bisa mendesak presiden untuk memastikan semua itu bisa terlaksana.

Aliansi Jurnalis Independen dan Federasi Media Independen menggelar aksi di Jakarta. [Dok FSPM Independen]
Aliansi Jurnalis Independen dan Federasi Media Independen menggelar aksi di Jakarta. [Dok FSPM Independen]

Sebagai contoh, komunitas pers sulit berharap kepada Polri untuk mereformasi dirinya sendiri untuk menghentikan anggota mereka menjadi pelaku kekerasan dan memproses hukum pelaku.

Karena itu, butuh perencanaan matang dari komunitas pers untuk didorong ke unsur eksternal seperti Kemenko Polhukam atau presiden untuk mengubah Polri yang prokemerdekaan pers. 

Baca Juga: AJI dan Google News Gelar Trusted Media Summit di Bali, 150 Media Hadir Membahas Tantangan Era Digital

Pemilu 2024 juga bisa dijadikan momentum oleh komunitas pers untuk memastikan calon presiden dan wakil presiden, calon lesgislatif, serta partai politik memiliki pandangan yang sama dalam menjamin kemerdekaan pers.

Para calon dapat diikat dengan komitmen-komitmen politik yang mendukung kemerdekaan pers dan dapat ditagih Ketika mereka berhasil menduduki kursi parlemen dan presiden.

Terobosan-terobosan baru dalam ekonomi media juga perlu dilakukan. Para peneliti atau akademisi dengan bantuan dana pemerintah bisa melakukan riset-riset model bisnis media yang berkelanjutan untuk perusahaan media.

Termasuk model bisnis untuk jurnalis-jurnalis yang memproduksi karya jurnalistik secara mandiri. Keberagaman model bisnis media akan membuat jurnalis dan perusahaan media lebih mudah menemukan model yang paling tepat untuk karya jurnalistik yang berkualitas.

Masyarakat juga akan diuntungkan karena mereka bisa memilih karya-karya jurnalistik dari jurnalis atau perusahaan yang berkualitas. Bukan banyak dalam jumlah, tapi sama dalam kontennya.

Tanpa terobosan-terobosan baru ini, maka akan sulit kemerdekaan atau kebebasan pers Indonesia bisa naik ke posisi bebas atau merdeka sepenuhnya. Padahal, kita tahu, "Tidak akan ada negara demokrasi, tanpa ada pers yang bebas". #23TahunUUPers.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI