Menurut Harli, hal ini mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyebutkan bahwa keuangan daerah juga termasuk keuangan negara.
"Nah itu yang saya sampaikan bahwa bank pemberi kredit ini kan bank pemerintah," katanya.
Poin krusial yang menjadi perhatian Kejagung adalah apakah ada penyalahgunaan wewenang atau prosedur dalam proses pemberian kredit, yang pada akhirnya berujung pada kerugian negara.

Harli menyebut, proses penyidikan akan menentukan sejauh mana kredit yang dikucurkan kepada PT Sritex telah sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan regulasi yang berlaku.
"Nah oleh karenanya kita melihat apakah dana-dana yang diberikan sebagai pinjaman ke PT Sritex oleh uang pemerintah ini dan bank daerah ada terindikasi ya," ucap Harli.
"Itulah yang mau dilihat dari sisi apakah ada kerugian negara di situ," sambungnya.
Dari Raksasa Tekstil ke Status Pailit
PT Sritex sempat dikenal sebagai salah satu eksportir tekstil terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan ini bergerak di berbagai lini, mulai dari pemintalan benang, pembuatan kain, hingga konveksi pakaian jadi, termasuk seragam militer.
Namun, pada awal 2025, Sritex resmi dinyatakan pailit setelah gagal membayar utang-utangnya kepada sejumlah kreditur. Proses kepailitan ini mengakhiri operasional perusahaan yang telah berdiri sejak 1966 tersebut.
Baca Juga: Diam-diam Kejagung Sidik Dugaan Korupsi Sritex, Ini Informasinya
Sebelumnya diberitakan, Sritex memutus hubungan kerja terhadap lebih dari 10 ribu karyawannya selama Januari-Februari 2025.