Suara.com - Di tengah ancaman krisis iklim yang kian nyata, pendekatan spiritual mulai diangkat sebagai bagian dari solusi. Salah satunya datang dari umat Buddha Indonesia melalui Gerakan Eco-Dhamma, inisiatif berbasis spiritualitas dan ekologi yang diluncurkan oleh Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi).
Gerakan ini bertujuan mendorong partisipasi aktif umat Buddha dalam menjaga lingkungan hidup, mulai dari pengelolaan sampah hingga pelestarian alam berbasis ajaran agama. Langkah ini mendapat dukungan langsung dari pemerintah.
“Jakarta, Semarang, dan Makassar, kini panas bukan sekadar karena musim, tetapi karena bencana iklim akibat aktivitas manusia. Kita semua punya andil,” kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, dalam peluncuran gerakan ini pada penutupan Mukernas Permabudhi di Makassar, seperti dikutip dari Antara, Senin, (30/6/2025).
Diaz menyebut krisis iklim sebagai hasil akumulasi berbagai aktivitas manusia, dari penggunaan listrik, transportasi, konstruksi, hingga buruknya sistem pengelolaan sampah. Ia mencontohkan, satu ton sampah bisa menghasilkan hingga 1.700 kilogram CO ekuivalen. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Makassar setiap hari menghasilkan ribuan ton sampah.
![Para Bhikkhu berjalan sambil membawa lentera saat prosesi Walking Meditation di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Selasa (14/5/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/original/2024/05/14/59435-bhikkhu-tudong-ke-candi-borbudur-bhikkhu-biksu-bhante.jpg)
Melihat urgensi tersebut, Diaz menilai Gerakan Eco-Dhamma sebagai langkah strategis dan relevan dalam menghadapi krisis iklim. Pemerintah, menurutnya, siap memberikan dukungan penuh, termasuk dalam pendampingan teknis untuk pengelolaan sampah berbasis komunitas.
“Termasuk potensi pembentukan bank sampah dan kerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) serta Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD),” lanjutnya.
Ketua Umum Permabudhi, Philip K. Widjaja, mengatakan Eco-Dhamma merupakan bentuk harmonisasi antara ajaran Buddha dan semangat pelestarian alam. Gerakan ini, menurutnya, bukan hanya kampanye lingkungan biasa, melainkan upaya kolektif untuk mengubah perilaku melalui pendekatan spiritual.
“Konsep ekologi ini kami angkat sesuai ajaran agama. Kami ingin menyelaraskan arah pembangunan baik fisik maupun spiritual,” ujarnya.
Permabudhi sendiri telah aktif mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sejak berdiri pada 2019. Beberapa program yang telah dijalankan termasuk pendirian eco-vihara, kampanye penggunaan eco-enzyme untuk limbah organik, serta partisipasi dalam Interfaith Rainforest Initiative (IRI) yang fokus pada perlindungan hutan tropis.
Baca Juga: Mengapa Ekowisata dan Pariwisata Berkelanjutan Penting untuk Masa Depan?
Gerakan seperti Eco-Dhamma memperlihatkan bahwa spiritualitas tidak harus terpisah dari isu-isu lingkungan. Ketika perubahan iklim membutuhkan perubahan perilaku besar-besaran, pendekatan yang menyentuh nilai dan keyakinan justru bisa membuka jalan bagi aksi kolektif yang lebih dalam dan berkelanjutan.