RUU BPIP seharusnya tidak hanya bertujuan membentuk lembaga permanen.
Lebih dari itu, undang-undang ini harus mampu membuktikan bahwa negara hadir untuk memperkuat semangat inklusivitas dan keterlibatan publik dalam merawat Pancasila.
Jika tidak hati-hati, agenda pembinaan bisa bergeser menjadi proyek indoktrinasi, seperti yang terjadi pada masa lalu.
Penanaman ideologi bukanlah pekerjaan teknokratik semata, tetapi juga soal kepercayaan, keteladanan, dan relasi antara negara dan masyarakat.
Dalam konteks ini, saran Prof. Jimly agar UU BPIP fokus pada empat fungsi pokok menjadi penting untuk dikritisi dan dipertimbangkan:
- Penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara.
- Koordinasi pendidikan dan pembinaan ideologi.
- Pengarahan serta pemberian rekomendasi atas kebijakan publik.
- Fungsi pengujian dan pengawasan regulasi agar tetap sesuai Pancasila.
Refleksi Kritis: Apakah Tafsir Negara Cukup?
RUU ini harus menjadi ruang refleksi tentang cara terbaik menjaga Pancasila di tengah keberagaman, bukan menciptakan tafsir tunggal yang bisa membatasi diskursus kebangsaan.
Kita perlu belajar dari kisruh RUU HIP yang memunculkan ketakutan akan monopoli interpretasi ideologi negara.
Alih-alih bergerak vertikal dan eksklusif, BPIP harus membangun sinergi dengan elemen-elemen akar rumput: guru, tokoh adat, pemuka agama, komunitas budaya, dan organisasi masyarakat sipil.
Baca Juga: Gubernur Jabar Libatkan TNI/Polri Saat MPLS, DPR: Jangan Dikit-dikit Tentara, Dikit-dikit Polisi
Di tangan merekalah nilai-nilai Pancasila paling banyak dihidupi dan diwariskan.
Karena itu, arsitektur kelembagaan BPIP ke depan harus lentur dalam menjangkau dinamika zaman, tanpa kehilangan akar konstitusional dan substansi demokratis.
Membangun undang-undang bukan hanya perkara susunan pasal, tapi menyangkut niat dasar pembentukannya: untuk siapa, oleh siapa, dan bagaimana dampaknya?
Pancasila adalah milik bersama. Ia tidak boleh dipolitisasi, apalagi dijadikan alat pembungkam perbedaan. Menjaga Pancasila berarti menjaga ruang demokrasi itu sendiri—agar tetap luas, sehat, dan penuh ruang dialog.
*) Aris Heru Utomo adalah Pengajar Utama Pancasila (Maheswara Utama) yang juga menjabat Konsul RI Tawau, Malaysia.