Suara.com - Sebuah guyonan yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam sebuah acara resmi kini menjadi bumerang. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melayangkan teguran keras, menyebut candaan bernada seksis itu sebagai tindakan yang tidak pantas dan berbahaya.
Insiden yang terjadi saat Dedi mendampingi Menkes di Bekasi, Rabu (23/07), ini memicu debat publik tentang batas antara humor dan pelecehan, terutama jika datang dari seorang pejabat negara.
Bagi yang masih menganggapnya sepele, Komnas Perempuan membeberkan setidaknya empat alasan serius mengapa guyonan semacam ini tidak bisa ditoleransi.
Berikut adalah 4 poin penting di balik kecaman keras tersebut:
1. Ini Bukan Lagi Candaan, tapi Bentuk Kekerasan Seksual yang Bisa Dipidana
Ini adalah poin paling fundamental. Sejak disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), definisi kekerasan seksual telah meluas. Humor atau candaan bernada seksis kini secara hukum diakui sebagai bentuk kekerasan seksual berbasis gender non-fisik.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, secara spesifik merujuk pada Pasal 5 UU TPKS.
"Warga dapat saja melaporkan para pejabat negara yang tidak menjaga moral etisnya dalam menempatkan situasi yang seharusnya memberikan rasa aman, tetapi justru dapat memberikan situasi dan stereotipe terhadap perempuan," tegas Dahlia. Artinya, ada konsekuensi hukum yang jelas, bukan lagi sekadar teguran etis.
2. Pejabat Publik Adalah Panutan, Bukan Tukang Guyon Seksis
Baca Juga: Guyonan Seksis Dedi Mulyadi Disemprot Komnas Perempuan: Itu Kekerasan Seksual dan Bisa Dipidana
Seorang gubernur, menteri, atau pejabat publik lainnya memiliki posisi dan panggung yang tidak dimiliki warga biasa. Setiap ucapan dan perilaku mereka memiliki bobot dan dampak yang lebih besar. Komnas Perempuan menekankan bahwa figur publik akan ditiru oleh masyarakat luas.
"Kehati-hatian dalam bertutur kata dan berperilaku sebagai publik figur sangat penting karena mereka akan banyak ditiru oleh publik yang bukan saja oleh warga dewasa tetapi juga anak-anak dan generasi muda," ujar Dahlia. Ketika seorang gubernur melontarkan candaan seksis, ia secara tidak langsung mengirim pesan bahwa perilaku semacam itu boleh dan wajar dilakukan.
3. Melanggengkan Budaya Patriarki dan Kebencian Terselubung (Misogini)
Menurut Komnas Perempuan, candaan seksis bukanlah tindakan yang muncul dari ruang hampa. Ia adalah produk dari budaya patriarki yang telah lama menempatkan perempuan sebagai objek.
Dahlia menyebutnya sebagai cerminan dari internalisasi misogini (kebencian atau prasangka terhadap perempuan) yang tertanam kuat.
"Candaan atau gurauan seksis justru dapat menjadi medium untuk memelihara pandangan-pandangan dan budaya yang diskriminatif terhadap perempuan," jelasnya. Dengan "hanya bercanda", pelaku seksisme bisa menyamarkan pandangan diskriminatif mereka dan membuatnya tampak normal di tengah masyarakat.
4. Mengabaikan Rasa Tidak Nyaman dan Objektifikasi Tubuh Perempuan
Di balik tawa si pelontar candaan, ada perasaan tidak nyaman, terhina, atau direndahkan dari pihak yang menjadi target. Guyonan seksis seringkali fokus pada tubuh atau pengalaman perempuan, mengubah mereka dari subjek menjadi objek—sebuah proses yang disebut objektifikasi.
"Gurauan seksis seringkali tidak disadari dilontarkan karena dianggap sebagai hal yang remeh, dan mengabaikan rasa tidak nyaman pada obyektifikasi tubuh dan pengalaman perempuan," kata Dahlia.
Poin ini menegaskan bahwa dampak candaan harus diukur dari perspektif korban, bukan dari niat si pelaku.
Peringatan dari Komnas Perempuan ini adalah sinyal jelas bahwa masyarakat dan hukum di Indonesia bergerak maju, meninggalkan era di mana pelecehan verbal bisa disembunyikan di balik tameng "humor".