Suara.com - Di sebuah studio yang sunyi di Tokyo, pria bernama Eiichiro Oda hidup dalam 'penjara' yang ia ciptakan sendiri.
Ia hanya tidur 3 jam sehari, mengorbankan waktu bersama keluarga, dan mendedikasikan hidupnya untuk menciptakan dunia tentang kebebasan mutlak.
Ribuan kilometer jauhnya, di Indonesia, simbol kebebasan yang ia ciptakan yakni bendera Jolly Roger Topi Jerami, berkibar di tiang-tiang bendera, menimbulkan kehebohan nasional hingga dilarang karena dianggap menandingi Merah Putih.
Inilah paradoks terbesar Eiichiro Oda.
Karyanya yang paling fenomenal, One Piece, adalah sebuah surat cinta untuk petualangan, mimpi, dan perlawanan terhadap tirani.
Namun, sang penulisnya justru menjalani kehidupan yang paling tidak bebas.
Dan ironisnya, semangat kebebasan yang ia tulis dengan tinta dan keringat, kini ditafsirkan begitu kuat oleh para fans hingga menabrak tembok sakral bernama kedaulatan negara.
Kisah Oda bukanlah dongeng.
Diceritakan jika ia bangun pukul 5 pagi, bekerja tanpa henti, dan baru beristirahat pukul 2 pagi keesokan harinya.
Baca Juga: Bendera One Piece Dilarang Keras di Bogor! Pemkab dan Kodim Turun Tangan, Ancam Copot Paksa
Ia sengaja tinggal terpisah dari istri dan anak-anaknya, hanya untuk memastikan petualangan Luffy tidak pernah berhenti.
Ia berusaha mengorbankan kebebasan personalnya demi melahirkan cerita tentang karakter paling bebas dalam sejarah fiksi, Monkey D. Luffy.
Oda adalah seorang arsitek yang merancang sebuah dunia tanpa batas, sementara ia sendiri tidak pernah meninggalkan ruang kerjanya.
Dalam dunia One Piece, bendera Jolly Roger bukanlah sekadar tengkorak.
Itu adalah simbol keyakinan.
Itu adalah pernyataan perang terhadap Pemerintah Dunia yang korup dan Kaum Naga Langit yang tiran.
Ketika kru Topi Jerami mengibarkan benderanya, itu adalah deklarasi bahwa mereka hidup dengan aturan mereka sendiri, demi mimpi mereka sendiri.
Semangat inilah yang tampaknya diadopsi mentah-mentah oleh para fans di Indonesia.
Bagi mereka, mengibarkan bendera Luffy di samping Merah Putih mungkin bukan niat untuk berkhianat, melainkan sebuah ekspresi.
Sebuah teriakan bahwa mereka juga punya mimpi, bahwa mereka juga ingin bebas dari "kekangan" sistem, dan mereka menemukan pahlawan yang mewakili semangat itu dalam sosok Luffy.
Di sinilah letak ironi terbesarnya. Eiichiro Oda, di studionya yang terisolasi, kemungkinan besar tidak pernah membayangkan bahwa simbol perlawanan fiktifnya akan dianggap sebagai ancaman nyata bagi simbol suatu negara.
Fenomena di Indonesia adalah efek samping tak terduga dari kejeniusannya bercerita.
Larangan pengibaran bendera ini menjadi cermin bagi kita semua.
Di satu sisi, ia menunjukkan betapa kuatnya sebuah cerita dapat merasuki jiwa dan menggerakkan manusia.
Di sisi lain, ia adalah pengingat tegas bahwa dunia nyata punya aturan yang tidak bisa dinegosiasikan.
Kisah Oda dan bendera 'sesat' di Indonesia adalah pelajaran tentang kekuatan dan bahaya sebuah ide.
Oda telah berhasil menciptakan simbol yang begitu kuat hingga maknanya melampaui kendali sang pencipta sendiri.
Ia ingin menggambar tentang kebebasan, dan para penggemarnya di Indonesia menunjukkan kepadanya arti kebebasan itu dalam bentuk yang paling ekstrem dan kontroversial.
Menurutmu, apakah Eiichiro Oda akan tertawa atau justru khawatir melihat fenomena ini?
Bagikan pendapatmu di kolom komentar!