Boni Hargens: 5 Logical Fallacies di Argumentasi Komite Reformasi Polri Terkait Perpol 10/2025

Bangun Santoso Suara.Com
Sabtu, 20 Desember 2025 | 08:15 WIB
Boni Hargens: 5 Logical Fallacies di Argumentasi Komite Reformasi Polri Terkait Perpol 10/2025
Pengamat Politik Boni Hargens (Tangkapan Layar)
Baca 10 detik
  • Perpol Nomor 10 Tahun 2025 memicu kontroversi di mana Mahfud MD menilai bertentangan dengan putusan MK, sementara Boni Hargens melihatnya sebagai implementasi praktis keputusan MK.
  • Argumentasi Komite Reformasi Polri terhadap Perpol tersebut dianalisis mengandung lima kelemahan logika dasar seperti ad hominem dan straw man.
  • Kesalahan logika ini dianggap melemahkan substansi hukum perdebatan publik, mengalihkan fokus dari analisis norma ke isu-isu non-substantif.

Lebih jauh lagi, ad hominem menciptakan atmosfer diskusi yang tidak sehat di mana orang lebih fokus pada menyerang lawan bicara daripada mencari kebenaran. Dalam konteks hukum konstitusional yang kompleks, pendekatan seperti ini sangat kontraproduktif.

Argumentasi hukum yang kuat seharusnya berfokus pada analisis tekstual Perpol, membandingkannya dengan putusan MK, dan mengevaluasi konsistensi antara keduanya berdasarkan prinsip-prinsip interpretasi hukum yang established. Serangan terhadap pembuat kebijakan hanya mengaburkan diskusi dan tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pemahaman yang lebih baik tentang isu hukum yang sebenarnya.

Kedua, argumentasi “orang-orangan sawah” atau Straw Man yaitu memelintir isi Perpol untuk memudahkan penolakan. Straw man fallacy terjadi ketika seseorang mendistorsi, melebih-lebihkan, atau menyederhanakan argumen lawan secara tidak akurat agar lebih mudah diserang. Ini adalah salah satu kesalahan logika yang paling umum dan berbahaya dalam perdebatan hukum.

Dalam konteks perdebatan Perpol Nomor 10 Tahun 2025, Komite Reformasi Polri sering kali menyederhanakan isi Perpol dengan cara yang tidak akurat. Mereka menggambarkan peraturan tersebut seolah-olah secara total mengabaikan atau melawan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal kenyataannya Perpol mengakomodasi beberapa aspek putusan MK secara selektif dengan interpretasi tertentu.

Komite sering menyatakan bahwa Perpol "sepenuhnya bertentangan" dengan putusan MK, tanpa mengakui bahwa ada beberapa pasal dalam Perpol yang justru mengimplementasikan aspek-aspek tertentu dari putusan tersebut. Penyederhanaan ini membuat Perpol terlihat lebih buruk dari yang sebenarnya.

Hukum konstitusional penuh dengan nuansa dan interpretasi. Dengan mengabaikan kompleksitas ini dan menyajikan Perpol sebagai hitam-putih melawan MK, Komite menciptakan straw man yang mudah diserang tetapi tidak akurat merepresentasikan realitas hukum yang ada.

Strategi straw man lainnya adalah dengan mengambil satu atau dua aspek problematik dari Perpol dan mempresentasikannya seolah-olah mewakili keseluruhan peraturan, sambil mengabaikan bagian-bagian yang sebenarnya sejalan dengan putusan MK.

Boni Hargens dan analis lain menunjukkan bahwa ketika Perpol dibaca secara menyeluruh dan dalam konteks yang tepat, banyak pasal yang sebenarnya operasionalisasi dari prinsip-prinsip yang ditetapkan MK. Namun, dengan menggunakan straw man, Komite Reformasi Polri menciptakan versi terdistorsi dari Perpol yang lebih mudah dikritik.

Ketika argumen didistorsi, diskusi menjadi tidak produktif karena para pihak tidak lagi membahas isu yang sama. Ini menghalangi kemungkinan untuk mencapai pemahaman bersama atau solusi kompromi. Untuk menghindari straw man, kritik terhadap Perpol harus didasarkan pada pembacaan yang fair dan komprehensif terhadap seluruh isi peraturan, membandingkannya secara spesifik dengan pasal-pasal relevan dalam putusan MK, dan mengakui baik kesesuaian maupun ketidaksesuaian yang ada. Hanya dengan pendekatan yang jujur dan menyeluruh seperti ini, diskusi hukum dapat berlangsung secara produktif dan menghasilkan pemahaman yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat.

Baca Juga: Pakar Hukum Unair: Perpol Jabatan Sipil Polri 'Ingkar Konstitusi', Prabowo Didesak Turun Tangan

Ketiga, False Dilemma, yaitu menyajikan pilihan hitam-putih tanpa alternatif. Komite Reformasi Polri sering menyajikan situasi seolah-olah hanya ada dua pilihan: Perpol bertentangan dengan MK dan harus dibatalkan sepenuhnya, atau Perpol diterima dan putusan MK diabaikan. Dikotomi ini mengabaikan spektrum solusi yang ada di antaranya. Kenyataannya, ada berbagai opsi seperti revisi parsial, penyesuaian pasal-pasal tertentu, atau interpretasi hukum yang lebih fleksibel yang dapat menyelaraskan Perpol dengan putusan MK tanpa pembatalan total.

False dilemma adalah kesalahan logika di mana seseorang menyajikan situasi seolah-olah hanya ada dua pilihan ekstrem, padahal sebenarnya ada banyak alternatif di antaranya. Dalam argumentasi Komite Reformasi Polri, false dilemma ini sangat jelas terlihat dan sangat merusak kualitas diskursus hukum.

Argumentasi yang sering muncul adalah: "Perpol ini bertentangan dengan MK, oleh karena itu harus dibatalkan." Pernyataan ini menciptakan false dilemma karena mengasumsikan bahwa satu-satunya respons terhadap potensi ketidaksesuaian adalah pembatalan total, padahal dalam praktik hukum dan kebijakan publik, ada banyak mekanisme untuk mengatasi ketidaksesuaian parsial.

Hukum konstitusional jarang bersifat hitam-putih. Biasanya ada ruang untuk interpretasi, penyesuaian, dan harmonisasi yang memungkinkan berbagai instrumen hukum untuk bekerja bersama meskipun ada ketegangan tertentu. Dengan menyempitkan pilihan menjadi "batalkan atau terima," Komite mengabaikan kompleksitas ini dan menciptakan situasi konfrontasional yang tidak perlu. False dilemma tidak hanya melemahkan argumentasi secara logis, tetapi juga menutup pintu untuk solusi pragmatis yang mungkin lebih baik melayani kepentingan reformasi Polri dan kepatuhan konstitusional. Pendekatan yang lebih konstruktif akan mengidentifikasi secara spesifik aspek-aspek mana dari Perpol yang bermasalah, mengusulkan perbaikan konkret, dan membuka dialog tentang berbagai cara untuk mencapai tujuan reformasi sambil menghormati putusan MK.

Dalam praktik kebijakan publik yang baik, pembatalan total biasanya adalah pilihan terakhir yang hanya diambil ketika semua opsi lain sudah dicoba dan gagal. Dengan langsung melompat ke tuntutan pembatalan, Komite Reformasi Polri menunjukkan pendekatan yang kurang sofistikated dan kurang memahami bagaimana sistem hukum dan kebijakan bekerja dalam realitas yang kompleks.

Keempat, Red Herring yakni mengalihkan isu utama dengan topik lain yang mungkin tak relevan. Red herring adalah taktik argumentasi di mana pembicara memperkenalkan topik yang tidak relevan untuk mengalihkan perhatian dari isu utama yang sedang diperdebatkan. Dalam konteks perdebatan Perpol Nomor 10 Tahun 2025, kesalahan logika ini sangat sering muncul dan sangat efektif dalam mengaburkan fokus diskusi yang seharusnya spesifik dan substantif.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI