Apotek 24 Jam Saja Bisa Mati, Nasihat Rhenald Kasali untuk Pebisnis Pemula

Senin, 14 Januari 2019 | 14:16 WIB
Apotek 24 Jam Saja Bisa Mati, Nasihat Rhenald Kasali untuk Pebisnis Pemula
Rheland Kasali. [Suara.com/Erick Tanjung]

Suara.com - Dulu  kala, untuk membeli batik di Surakarta, seseorang di Batavia harus melakoni perjalanan sebulan. Transaksi jual-beli batik menuntut tatap wajah penjual – pembeli dalam waktu dan tempat yang sama. Kini, transaksi itu bisa dilakukan sekejap melalui ponsel pintar yang tersambung dalam jaringan internet.

Abad digital, begitulah warga dunia bersepakat menamakan era di mana internet telah masuk menjadi salah satu kebutuhan primer manusia.

“Digitalisasi kehidupan” tersebut, tak pelak turut mengubah  paras perekonomian di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Ketika dulu pedagang kepusingan memikirkan cara membayar sewa lapak di pasar yang hampir habis, kini tersedia laman-laman daring yang menyediakan kios digital gratis.

Saat dulu orang-orang menunggu keesokan pagi guna membeli koran agar bisa mengetahui secara mendalam suatu peristiwa hari sebelumnya, kini kita bisa mengetahui peristiwa yang baru sekian detik terjadi di luar sana melalui ponsel dari atas ranjang kamar.

Pun dulu dibutuhkan waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan bagi korporasi besar untuk menarik dana investasinya yang tersebar di sejumlah negara. Tapi kekinian, para pemodal cukup memantengi layar komputer jinjing mereka, menekan sejumlah tombol, dan uang mereka bisa berpindah dalam sekedip mata.

Profesor Dr Rhenald Kasali, Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga praktisi bisnis, menamakan fenomena tersebut sebagai disruption atau peristiwa yang menginterupsi pola perekonomian sebelumnya menjadi sama sekali baru.

Namun, Doktor Kasali menegaskan, fenomena disruption yang  dilanjutkan dengan shifting (pergeseran) dalam dunia perekonomian tersebut tak sekadar perpindahan dari cara berbinis analog ke digital.

“Semua fenomena itu sejatinya mengubah bukan hanya ‘cara’ berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri,” jelas Kasali.

Baca Juga: Mulanya Dikira Tumor, Ternyata Lintah Hidup di Tenggorokan Wanita Ini

Ia memisalnya, disruption terjadi akibat perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources).

“Jadi kalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai sendiri, sekarang tidak lagi. Sekarang kalau bisa justru saling berbagi peran. Atau, kalau dulu semuanya ingin dikerjakan sendiri, pada era disruption tidak lagi seperti itu. Sekarang eranya kita bekerja bersama-sama. Kolaborasi, berotong royong.”

Namun, pelaku bisnis di Indonesia kini tengah gamang dalam menghadapi femonena tersebut. Rhenald mengungkapkan, ada kekhawatiran pada banyak usaha nasional yang berpotensi gagal memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi baru akibat disrupsi dan pergeseran ke era digital.

Hal ini lantaran lemahnya pemahaman dunia usaha terhadap maraknya resistensi dari pelaku-pelaku usaha lama terhadap perubahan.

Lewat kajiannya, Rhenald menunjukkan sejumlah peristiwa shifting (pergeseran) yang terjadi dalam berbagai bidang usaha, mulai dari industri pelayanan keuangan dan perbankan, mainan, pariwisata, esteem economy, hiburan, asuransi, hingga pendidikan dan kebudayaan.

"Ketika pendapatan masyarakat meningkat, sejumlah produk akan menjadi barang inferior. Dan ini menunjukkan kegagalan para CEO dalam membaca shifting dan terperangkap dalam a blame trap karena terlalu percaya pada pernyataan pelemahan daya beli," ungkapnya.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI