Kemudian, ketika ada misalnya sebagian orang sudah sepakat --menurut saya sebenarnya lebih banyak yang sepakat-- terkait penyebab turunnya tanah karena eksploitasi air tanah, dibandingkan yang kontra, maka selanjutnya pada mikir lagi, "Kalau kita misalnya mengurangi atau bahkan menghentikan pengambilan air tanah, pertanyaan berikutnya: suplai air dari mana buat warga?" Setelah dilihat, ternyata kita punya masalah terkait suplai air, atau nanti berkembangnya ke water management.
Contohnya di Jakarta, di Bandung, Pekalongan. Ketika ini pasti (penyebabnya --Red) air tanah, maka kalau bisa distop. Lalu setelah distop air, ternyata tidak ada suplainya. Ini masalah juga.
Kalau Jakarta 40% tidak ada (suplai air --Red), 60% sudah ada. Kalau kita bicara Pekalongan, 80% nggak ada. Lalu nanti bagaimana suplainya, kalau air tanahnya disuruh diberhentikan? Bandung, saya kurang tahu persentasinya, tapi mungkin sama halnya Jakarta, atau lebih sedikit 50% yang punya masalah suplai.
Artinya, kalaupun kita sudah sepakat dengan masalah air tanah, ada lagi problem berikutnya.
Nah, yang menarik itu, ketika hari ini saya ketemu teman-teman di Pekalongan, itu masih ada yang tidak mempercayai penurunan tanah. Itu lebih menarik lagi! Jadi mereka bilang, "Kayaknya nggak ada turun deh tanahnya di Pekalongan." Ada yang masih bilang seperti itu. Kemudian ada juga beberapa yang bilang, penyebabnya belum tentu itu air tanah.
Menurut saya, itu sudah lazim terjadi. Tetapi saya menemukan hal menarik hari ini, (bahwa) ada yang masih tidak percaya tanah itu turun di Pekalongan. Nah!
Kalau tidak ada kesepakatan, maka solusinya pun jadi tidak dibicarakan. Apakah Anda tidak khawatir?
Tadi kita sudah bicara faktor penyebab penurunan tanah. Kalau penyebab rob, itu lain cerita. Kita baru bicara faktor penyebab penurunan tanah. Penurunan tanah dan juga nanti rob itu, kita istilahkan sebagai "silent killer". Jadi perlahan tapi pasti, nanti tiba-tiba kita kaget bahwa dampaknya itu begitu luar biasa.
Perhitungan ekonomi yang kita coba kalkulasikan, oret-oretan kerugian dari penurunan tanah dan banjir rob di pesisir Indonesia (itu) bisa melebihi Rp 1.000 triliun nilainya. Seandainya saat ini kita harus melakukan treatment dengan baik, itu sudah butuh dana bisa sampai 1.000 triliun rupiah.
Baca Juga: Bukan Utara dan Barat, Ini Wilayah Terbanyak Banjir di Jakarta
Giant sea wall (tanggul laut raksasa yang dibangun untuk mengamankan Jakarta --Red) saja dulu sempat Rp 600 triliun, direvisi (jadi) Rp 400 triliun, katanya sekarang Rp 200 triliun. Nah, kita bisa kalkulasikan sederhana: kalau Jakarta butuh Rp 200 triliun, berarti Semarang juga kira-kira butuh Rp 200 triliun. Itu saja udah 400 triliun. Tambah Pekalongan Rp 100 triliun, Demak Rp 100 triliun. Digabung-gabungkan nanti ujung-ujungnya ya bisa nyampe di angka Rp 1.000 triliun.
Jadi, kembali lagi, bahwa itu silent killer. Mungkin satu saat kita ya terkaget-kaget karena akan menghadapi bencana luar biasa.
Itu tadi dari nilai ekonominya yang bisa mencapai Rp 1.000 triliun.
Tetapi yang lebih mengerikan ketika misalnya berjuta-juta hektar wilayah pesisir di Indonesia hilang. Pantai Timur Sumatera itu lebih dari 2 juta hektar bisa hilang. Kalau di Jawa, mungkin nilainya puluhan ribu hektar bisa hilang permanen ke dalam laut. Nah, itu kan bisa dibilang cukup mengerikan.
Jadi kekhawatiran kita itu, kita debat sekarang, nggak ada aksi segala macam, tiba-tiba hilang. Tiba-tiba baru sadar gitu.
Prediksi Anda (kalau tidak ada tindakan) dalam kurun waktu berapa lama itu bisa terjadi? 20-30 tahun?