Faktor apa yang mendorong terjadinya tren ini? Padahal kan pandemi?
Saya kira karena adanya kesepakatan antara Indonesia dan Tiongkok, sehingga memudahkan ekspor-ekspor Indonesia masuk ke Tiongkok. Saya ada detailnya, produk-produk apa saja yang menonjol secara signifikan. Salah satu adalah sarang burung walet, buah tropis, dan lain-lain. Tapi nanti jadi panjang diskusinya.
Sekarang, saya masuk ke investasi dulu.
Investasi periode Januari sampai Juli, dibanding periode yang sama tahun lalu, meningkat 9 persen. Angkanya US$ 2,2 miliar. Ini realisasi ya, jadi bukan pledge, bukan janji. Tahun lalu kenaikan investasi China ke Indonesia itu 95,6 persen dibanding periode 2018. Jadi bayangkan, on top of 95,6% tahun lalu, tahun ini jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu masih ada kenaikan sebesar 9% menjadi US$ 2,2 miliar.
Kalo nilai ini ditambah dengan investasi Hong Kong yang jumlahnya US$ 1,7 miliar, maka Tiongkok plus Hong Kong sudah menjadi nomor satu.
Sebelum pandemi, tingkat pertumbuhan ekonomi kita kan kurang lebih 5,5 atau 5,6 persen. Para duta-duta besar diinstruksikan Bapak Presiden supaya kita bisa mendorong ekspor, menarik investasi, dan yang ke-3 adalah menggalakkan tourism economy, ekonomi pariwisata. Dengan demikian maka kita bisa membuat tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 6%.
Kalo pertumbuhan kita bisa di atas 6 persen, maka mimpi-mimpi Bapak Bangsa bahwa beyond 2030 kita sudah menjadi negara yang maju di dunia atau masuk dalam 10 besar, itu tidak mustahil. Seperti juga hasil survei-survei banyak lembaga-lembaga internasional.
Yang ke-4, dengan melihat perkembangan khusus di China, kami tambahkan namanya digital economy. Kenapa ini penting? Karena kerja sama di bidang ini juga luar biasa. Kontribusi ekonomi digital di Tiongkok terhadap GDP-nya itu sudah 30 persen. Sementara di kita dengan 5 unicorn dan 1 decacorn, nilai ekonomi digital kita sudah sekitar US$ 40 miliar.
Banyak prediksi yang menyatakan bahwa by 2025, kita itu leading di Asia Tenggara. Negara lain kan, paling tidak yang ada di kawasan Asia Tenggara, punya unicorn satu satu saja. Kita punya lima. Jadi kalo 2025, nilai ekonomi digital kita bisa di kisaran US$ 133 sampai US$ 150 miliar. Itu berarti kontribusinya terhadap GDP kurang lebih 10 persen. Itu kan luar biasa. Dan kita akan leading di Asia Tenggara.
Baca Juga: Penelitian Awal Vaksin Sinovac Dilakukan di Luar Negeri, Ini Kata BPOM
Dalam konteks inilah kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok di bidang ekonomi digital kita dorong juga. Hal-hal yang akan menonjol itu seperti artificial intelligence, Internet of Things (IoT), big data, blockchain, marketplace platform.
Seperti yang beberapa hari lalu dilakukan Konjen Shanghai. Kita sekarang kan pakai platform e-commerce untuk memperkenalkan dan menjual produksi kita di beberapa marketplace di China seperti JD.com, pindoudou, dan lain-lain. Saya juga sudah lakukan di Beijing. Demikian pun Konjen Guangzhou. Jadi kita ikut berpartisipasi di platform-platform digital di sini untuk menjual dan mempromosikan produk-produk Indonesia.
Jadi itulah empat hal dalam konteks diplomasi eknomi yang kita kerjakan. Itulah upaya-upaya kita di Kedutaaan Besar Republik Indonesia [KBRI] di China dalam rangka meningkatkan perdagangan dan investasi.
Tourism memang tahun ini kita tidak bisa berharap banyak. Kalo tahun lalu, jumlah turis dari Tiongkok di atas 2,1 juta orang. Tahun ini kan dengan COVID, saya kira angkanya baru sekitar 200.000-an saja. Jadi memang kita tidak berharap banyak dari tourism. Karena itu kita harus genjot di bidang perdagangan dan investasi.
Tentunya dalam konteks RRT, untuk bidang perdagangan, kita harus memanfaatkan sejumlah perjanjian dan fasilitas yang telah dicapai kedua negara, misalnya Free Trade Agreement, Special Economic Zone, dan lain-lain.
Saya kira dengan Omnibus Law juga akan memudahkan untuk berinvestasi. Tentunya investasi yang sesuai dengan kepentingan kita. Itu akan relevan dengan pertanyaan Mbak tadi.