Kita tidak bisa menerangkan itu dalam satu kerangka yang rasional. Pembelahan rasional dan irasional tidak bisa kita pakai di sini. Pembatasan sosial pandemi itu suatu gerak rasional medis. Tapi arus kebudayaan ini arus dalam mental, tidak bisa kita rasionalisasi, tidak bisa dinalar.
Karena dia tradisi yang sudah menjadi habitus, dia berakar secara struktural. Artinya, ini sudah panjang lintasan sejarahnya praktik semacam ini. Dia juga sudah mengalami spiritualisasi, disematkan nilai-nilai tertentu dan dikonstruksi sebagai suatu bentuk keluhuran.
Jadi, namanya juga nilai, nilai tidak bisa dirasionalisasi. Misal saya suka A dan kamu suka B, tidak bisa diperbandingkan. Itulah kenapa yang bisa kita lakukan tinggal menafsirkan dan memahaminya. Jadi kalau kita mau mengubah, maka kita harus menafsirkan dan memahami terlebih dahulu nilai-nilai ini.
Itulah kenapa, secara sederhana kan dipakai jugalah pelbagai cara halus. Misalnya tahun lalu ada kampanye: jangan bahayakan orangtua kamu. Itu kan sebenarnya satu kampanye yang juga keluar karena hasil dari pemahaman, melarang tapi dengan cara memahami.
Bukannya saya menganjurkan mudik, tapi sekarang faktanya dia bisa dilarang tapi tak bisa dihentikan. Di sini pembuat kebijakan juga mesti pintar. Maka pembuat kebijakan juga mesti beradaptasi, menyesuaikan diri dengan laju gerak ini untuk mengantisipasi ledakan kasus Covid-19 pasca lebaran.
Ada juga aturan larangan mudik di wilayah aglomerasi. Ini membuat bingung masyarakat juga. Bagaimana sih seharusnya?
Kalau itu sudah jelas kebijakan itu tidak efektif. Justru ini jauh lebih tidak efektif ketimbang penyekatan mudik. Sekarang untuk mengetahui ini orang dari aglomerasi atau bukan, sama-sama pelatnya (nomor kendaraan) B, itu saja sudah susah. Namun menurut saya, aparat kita yang di bawah yang melakukan pemeriksaan, silakan saja terus lakukan seperti itu, daripada tidak. Dengan itu, paling tidak bisa mengurangi arusnya. Walaupun kita tahu itu kebijakan yang nyaris mustahil atau susah, karena batas-batasnya tidak jelas.
Tingkat produktivitas warga menjelang lebaran itu masih tinggi. Masih banyak aktivitas, yang bukan demi liburan atau demi lebaran tapi memang untuk urusan ekonomi sehari-hari. Itu nyaris mustahil untuk dilakukan penyekatan.
Tapi netizen banyak yang ngambek, katanya orang mau kerja tapi dibatasi seperti ini di aglomerasi?
Baca Juga: Habib Nabil bin Ridho Al Habsyi: Bimbing Umat, Ulama Tak Bisa Jalan Sendiri
Ya, tidak apa-apa. Orang ngambek karena satu kebijakan itu ciri bagus sebenarnya. Karena kalau kita seperti China, negara otoriter, kita tidak boleh ngambek lagi. Jadi kalau ada kebijakan orang protes, ya wajar orang tidak suka atau terdampak kebijakan itu. Tapi masih boleh ngambek itu masih bagus.
Yang tidak bagus itu, ada larangan tapi tidak boleh ngambek. Itu kita otoriter. Kalau orang berkeluh kesah, ngambek, ya tidak apa-apa lah. Yang penting, yang ngambek-ngambek jangan dihukum. Namanya juga orang ngambek, masa dihukum. Bagus kalau ada yang ngambek. Itu tanda kebijakan itu berakibat. Jadi, woles aja semuanya.
Tapi, larangan mudik di daerah aglomerasi ini, perlu tidak sih?
Ya, (seperti) saya bilang tadi, mau dikeluarkan ya tidak apa-apa, tapi pasti tidak akan efektif. Kalau disebut perlu atau tidak perlu, saya kira pemerintah perlu membuat kebijakan yang mencegah tingkat penularan, itu harus dilakukan. Cuma dalam konteks ini, sejauh mana efektivitasnya berhadapan dengan basis sosial kultural ekonomi yang sedemikian kompleks. Tapi pembatasan di daerah aglomerasi sejauh untuk mencegah penularan, ya tidak apa-apa untuk dilakukan, karena setidaknya memberikan efek kewaspadaan.
Akibat Covid-19 ini, apakah urbanisasi kemudian masih akan terus masif terjadi?
Dengan kesenjangan dalam konteks antar wilayah, artinya dengan memperhitungkan kondisi Covid sekarang di mana ekonomi sedang tidak bagus, maka sudah pasti kemungkinan urbanisasi akan terus terjadi dengan aneka macam cara dan saluran.