Kalau soal itu, itu kan suatu gejala di media sosial. Kalau soal tenaga kerja WNA, saya ingin melihatnya secara lebih hati-hati, bagaimana ekspose dari arus masuk ini. saya kira gini, yang masuk dari luar negeri ke Indonesia itu bukan cuma warga negara China, ada aneka macam warga negara. (Maka) Kita lihatlah kebijakan pembatasannya dari Ditjen Imigrasi. Terakhir pembatasannya untuk India, walaupun sudah sempat seratus sekian orang masuk menggunakan KITAP atau KITAS.
Jadi kalau soal itu, ya, tidak cuma warga negara China. Orang kebijakan luar negeri kita itu tidak membatasi secara total kok, masih bisa WNA masuk entah dari Asia Tenggara atau dari mana.
Jadi begini. Penebalan pada isu WN China itu lebih mau dipakai untuk mengkritik pemerintah. Tapi saya kira itu juga kurang tepat kalau mengkritik pemerintah dengan menggunakan argumen tentang tenaga kerja China. Karena pada saat yang sama TKA dari negara lain jangan-jangan juga masuk. Kita perlu cek dulu.
Selama tidak ada larangan dari imigrasi untuk orang luar negeri datang, apalagi yang punya KITAP atau KITAS, ya selama itu juga mereka akan datang. Jadi itu tidak bisa kita pakailah untuk menunjukkan inkonsistensi, karena di dua ranah yang sedikit berbeda. Sejauh orang itu dites, masuk sini dengan persyaratan medis yang ketat, dikarantina dulu, ya saya kira itu tidak bisa dijadikan basis untuk mengkritik.
Jadi kalau mau mengkritik, kita mesti cari satu praktik yang lebih tepat untuk bisa kita tunjuk guna menunjukkan inkonsistensi.
Sayangnya, masyarakat lebih suka kalau ada dimensi identitas. Tapi menurut saya itu tidak tepat, dan juga akan mementahkan kritiknya sendiri nanti. Supaya kritik kita itu tepat dan efektif, ya memang pada praktik kebijakan inkonsistensi seperti apa.
Saya juga suka mengkritik, tapi saya kira kalau soal itu saya kurang begitu sepakat untuk masuk dalam model (identitas) yang seperti itu. Karena (itu) tadi, kita mesti lihat dulu kebijakan imigrasinya seperti apa. Dan saya kira penonjolan pada isu identitas dalam soal Covid ini kurang produktif-lah.
Kembali ke tradisi mudik, sering kali orang kembali ke kota setelah mudik membawa saudaranya. Apakah pada masa pandemi ini tradisi itu juga akan terhenti?
Itu pasti masih akan ada. Tapi saya kira akan sedikit berkurang tahun ini, karena sebagian keluarga-keluarga Indonesia itu melakukan penghematan sekarang ini, apalagi dengan itu dia akan melibatkan tenaga kerja baru. Masih ada, tapi tidak terlalu banyak dugaan saya.
Baca Juga: Habib Nabil bin Ridho Al Habsyi: Bimbing Umat, Ulama Tak Bisa Jalan Sendiri
Ini menarik. Pola mudik ini kan sudah bisa dibaca, perginya seperti apa, pulangnya seperti apa, yang bakal terjadi seperti apa. Perilaku sosialnya sudah bisa dibaca karena sudah jadi habitus.
Artinya, pengambil kebijakan sudah bisa merancang kebijakan antisipatif. Misalnya pemerintah daerah melalui kecamatan, kelurahan, sampai tingkat RT-RW, itu bisa mulai menganjurkan buat rumah orang yang asisten rumah tangganya pergi, itu majikan atau RT-RW-nya diwajibkan melakukan tes mandiri, swab antigen atau apa, bagi pendatang yang masuk.
Atau di komplek-komplek dilakukan semacam Satgas Covid-19, nah itu diaktifkan saja. Jadi pemerintah daerahnya itu mendorong supaya Satgas di RT-RW itu diaktifkan pasca lebaran ini. Buat rumah tangga yang kedatangan pekerja baru diminta untuk melakukan pengetesan, dengan cara yang halus, (yang) manusiawi ya. Dengan membangun kesadaran, bukan dengan antipati.
Antisipasi sudah bisa dilakukan. Pada saat yang sama, infrastruktur medis di daerah itu juga sudah mulai siap-siap dari sekarang. Biasanya selalu ada penambahan kalau ada liburan besar. Dalam pengalaman dua tahun ini kan kita bisa tahu, angka Covid-19 nambah setelah liburan. Itu juga hampir jadi pola yang kita prediksi, tinggal diantisipasi.
Dengan pelarangan mudik kedua ini, apakah pemerintah bisa disalahkan kalau tetap terjadi lonjakan kasus Covid-19?
Ini bukan soal matematika, ini bukan soal moral. Kalau matematika dan moral, ya ada salah-benar, baik-buruk. Tapi ini soal kebijakan. Di sisi lain, dari gerak masyarakatnya ini soal kebudayaan. Dalam soal kebudayaan kita lebih melihatnya dalam dimensi etika.