Suara.com - Bersamaan dengan momen HUT ke-495 Jakarta, Pemprov DKI Jakarta resmi melakukan perubahan atau penggantian sebanyak 22 nama-nama jalan di wilayah Jakarta. Peresmian perubahan nama itu sendiri telah dilakukan secara simbolis oleh Gubernur DKi Anies Baswedan pada Senin (20/6/2022) lalu.
Lebih jauh, baru-baru ini, Anies bahkan mengatakan bahwa pergantian nama ini baru merupakan gelombang pertama. Artinya, masih akan ada nama-nama jalan lainnya yang bakal diganti atau diubah ke depan --meski belum disebutkan secara spesifik kapan waktunya.
Penggantian atau perubahan nama-nama jalan yang disebut demi menghormati para tokoh Jakarta atau Betawi sekaligus dalam rangka mengingatkan warga akan perjuangan mereka, itu sempat menuai beragam komentar dari beberapa pihak maupun dari publik secara umum. Antara lain, ada yang menanyakan urgensi perubahan nama, dasar pertimbangan nama-nama baru yang dipilih, hingga kekhawatiran akan kesulitan administrasi yang dialami warga terhadap surat-surat penting mereka yang harus berubah.
Baru-baru ini, tepatnya pada Jumat (24/6) malam lalu, Suara.com lewat acara diskusi melalui platform Twitter Space, mencoba memperbincangkan topik tersebut bersama beberapa topik lainnya terkait DKI Jakarta. Hadir sebagai pembicara utama dalam program perdana "Obrolan Malam Bersama Suara.com (Ormas)" tersebut sejarawan JJ Rizal, yang diajak berbincang oleh dua host dari redaksi Suara.com.
Berikut petikan perbincangan dengan sejarawan JJ Rizal dalam acara tersebut, yang ditulis ulang dalam format wawancara tanya-jawab:
Ini kan ada 22 nama jalan yang diputuskan diganti jadi nama-nama tokoh. Menurut Anda, sejauh mana tokoh-tokoh tersebut sebenarnya bisa menjadi representasi nama-nama jalan tersebut?
Ya, pertama penamaan jalan ini penting, karena dari ruang kota itu kontestasi memori. Setiap memori ingin tampil dominan, dan dalam konteks di ibu kota (Jakarta) meski tanahnya milik orang Betawi, tapi orang Betawi sendiri dalam memori ruang kota tidak banyak perwakilannya.
Mereka lama ditenggelamkan, mereka bukan bagian memori dalam ruang di Jakarta. Jadi pada masa kolonial, ruang mereka justru lebih banyak, dibandingkan setelah kemerdekaan. Kemudian setelah Orba (Orde Baru), ruang mereka semakin kecil dalam ruang kota. Memori mereka semakin hilang.
Menurut saya, keputusan mengubah nama jalan dan memberikannya pada tokoh-tokoh yang berperan penting bagi sejarah dan kebudayaan, kesenian, bisa kita tempatkan sebagai konteks kontestasi memori itu, agar bisa lebih seimbang. (Bahwa) Mereka ada bagian dalam perjalanan kota ini, bukan hanya sekadar embel-embel. Tapi problemnya menurut saya, niat itu baik, tapi kan kita dengan seiringnya waktu punya aturan-aturan yang bisa kita taati.
Baca Juga: Namanya Unik, Sejarah Desa Cawet Pemalang Bermula dari Tokoh Legenda Ini
Terutama menurut saya menyangkut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. Nah, ini yang menurut saya salah satu peraturan pemerintah yang tinggi sekali tempatnya, dan juga mengadopsi rekomendasi dari UNESCO tentang pentingnya melihat nama tempat sebagai artefak sejarah. Nama tempat itu yang mereka sebut sebagai gazete, gazeter, atau rupabumi. Itu tidak kosong nilai. Jadi nama daerah, nama jalan, tidak bisa secara sembarang kita ubah, karena nama jalan itu juga bagian (dari) memori yang sangat penting.
Jika bicara tentang Jakarta, seluruh nama tempat di Jakarta identik dengan pohon. Ada Kemang, Gandaria, Jati, Jati Padang. Bahkan ada kebun, Kebon Sirih. Kemudian ada hutan, Hujan Jati, Hutan Pitik. Itu kan identifikasi Jakarta itu kan kota pohon gitu; kota hijau.
Selain kota hijau, ia juga jadi "kota biru", karena punya banyak tempat yang identik dengan air. Ada beberapa tempat misalnya pakai nama rawa; Rawa Belong, Rawa Lumbu (masuk Bekasi). Kemudian kali; ada Kali Pasir, Kalijodo.
Kemudian nama-nama itu harus kita lihat, bukan hanya sekadar pesan leluhur, ya, (bukan) tipe dari kategori ruang dari Jakarta, tapi juga wawasan ke depan kalau Jakarta harus dibentuk menjadi kota hijau atau kota biru. Jadi persoalan besarnya, ketika nama-nama itu disematkan pada ruang-ruang yang identifikasinya pada memori tentang kota hijau dan biru yang khas dari Jakarta, maka kita harus merujuk pada PP itu.
Seharusnya menurut saya, sebelum memberi nama-nama itu, kita harus mengikuti aturan tersebut. Kita melakukan inventarisasi tentang nama-nama kawasan, jalan, dan dari inventarisasi itu kemudian kita tahu mana yang sudah bernama dan sangat bernilai bagi identitas kita. Ada kekayaan nilai, historis. Juga kita akan ada menemukan nama jalan yang belum bernama, atau keliru tidak sesuai dengan amanah dari PP tersebut.
Dalam konteks ini, kita bisa melihat niat yang baik, berangkat dari keresahan masyarakat Betawi. Tapi juga menurut saya, kita juga ada aturan yang harus kita hormati, dan lebih penting lagi juga menyangkut apa itu Betawi.