Ia juga menekankan perlunya diskusi lintas kementerian dalam menentukan kebijakan terkait industri hasil tembakau, mengingat dampaknya yang menyeluruh. Karena menurutnya, kebijakan ini bukan hanya urusan Kementerian Keuangan atau Kementerian Kesehatan saja, tapi juga Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Ketenagakerjaan yang seharusnya ikut dilibatkan.
Di samping itu, ketentuan zonasi larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak dalam PP 28/2024 juga dinilai Andry akan memukul pelaku usaha ritel yang sebelumnya sudah beroperasi di area tersebut. “Kebijakan zonasi ini perlu dipertimbangkan ulang untuk menjaga keseimbangan antara aturan kesehatan dan keberlangsungan usaha,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Andry mengungkapkan pentingnya fokus pada empat hal utama untuk keberlanjutan industri ini. Pertama, penerimaan negara; kedua, pengendalian konsumsi; ketiga, perlindungan tenaga kerja; dan keempat, penanganan rokok ilegal. "Regulasi-regulasi ini seharusnya lebih fokus pada empat hal tersebut agar dampaknya tidak berat sebelah dan dapat tetap menjaga stabilitas ekonomi," tambahnya.
Di sisi lain, Rancangan Permenkes yang mengatur penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pun kian dipandang bertentangan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia dan merupakan ancaman bagi industri hasil tembakau nasional.
Pandangan itu disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. Ia menjelaskan penerapan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sejatinya mirip dengan kebijakan yang diterapkan Australia pada 2012. Saat itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang menolak kebijakan tersebut.
"Sekarang kita justru ingin menerapkan apa yang pernah kita lawan. Ini sangat membingungkan," pungkas dia.