Suara.com - Sudah diprediksi jauh hari sebelumnya, isu SARA akan muncul jelang pemilihan kepala daerah Jakarta tahun 2017. Sentimen suku dan agama digoreng terus. Situasinya sebenarnya mirip-mirip jelang pemilu yang lalu, hanya saja kali ini lebih keras dan yang direspon secara serempak.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang mengatakan sebagian kalangan masih menganggap isu tersebut seksi untuk dimainkan. Kandidat terkuat saat ini adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memang sejak awal diprediksi bakal ditekan habis-habisan.
"Isu SARA ini masih dilihat cukup seksi untuk dimainkan. Karena yang bertarung ini kan calon petahana itu rentan sekali untuk dimainkan isu itu. Sementara elektabitasnya cukup tinggi. Ini bisa saja cukup menggoda lawan tandingnya untuk memanfaatkan isu itu," kata Sebastian, Senin (10/10/2016).
Tetapi apakah isu agama efektif untuk menurunkan tingkat elektabilitas, kata Sebastian, soal itu belum bisa dibuktikan. Apalagi, pemilih saat ini sudah berpikir rasional. Yang ditakutkan Sebastian, pemakaian isu tersebut justru hanya menimbulkan konflik dan membuat keretakan sosial yang lebih parah.
"Mungkin berdampak, tapi dampaknya kecil untuk bisa mempengaruhi elektabilitas. Yang perlu dikhawatirkan dari isu SARA ini adalah bisa menimbulkan konflik atau ketegangan suhu politik. Dan kalau terus dieksploitasi bisa menimbulkan keretakan sosial," ujarnya.
Sebastian memandang saat ini terjadi tren politik di Indonesia yang mengarah pada menjauhi dari hal-hal yang berhubungan dengan isu agama dan etnis. Hal itu, katanya, dibuktikan dari adanya partai beraliran agama yang mulai tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas masyarakat.
"Banyak sekali partai beraliran agama kan kolaps. Mati. Lalu kemudian tidak hanya partai agama Islam, yang Kristen juga begitu. Mana ada partai Kristen yang bertahan? Partai muslim pun banyak yang mati juga kan. Meski ada PKS, PKB, dan PP, tapi itu tidak cukup signifikan," ujar Sebastian.
Senada dengan Sebastian, peneliti politik dari lembaga Populi Center Usep S. Achyar juga mengatakan isu SARA tidak akan mempan untuk menjatuhkan lawan politik. Pengalaman, kata dia, membuktikan.
"Coba saja lihat dari pemilihan presiden kemarin, dan pilkada (DKI Jakarta) sebelumnya. Bagaimana isu SARA bergulir? Tapi masyarakat bukan karena itu (SARA) memilih dan tidak memilih," kata Usep.
Dia menyontohkan ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi gubernur Jakarta untuk menggantikan Joko Widodo yang ketika itu terpilih menjadi Presiden. Ahok diserang isu SARA, tetapi kemudian hilang.
"Nah, kalau persoalannya SARA itu kan dari kemarin-kemarin toh. Ternyata kan agama minoritas dan suku minoritas dan bukan orang Jakarta, tapi tetap diterima sebagai gubernur. Sudah jadi gubernur. Meskipun ada penolakan, tapi kan tidak seluruh masyarakat menolak itu," ujarnya.
Usep berharap masyarakat Indonesia yang plural tetap berpikiran rasional dalam menentukan sikap politik.
"Dari data kita, banyak yang memilih karena latar belakang agama dan suku yang sama. Ada juga yang tidak memilih karena orang itu (calon) itu agamanya apa dan sukunya apa. Tapi sebenarnya, rumusan seperti itu, orang memilih karena kesamaan suku dan agama adalah hal yang biasa. Kalau melarang untuk memilih karena agama dan suku yang berbeda, itu yang tidak boleh karena itu tidak demokratis," kata dia.
Pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Suyatno, menambahkan isu agama dan etnis bisa menjadi kontra produktif.
"Kalau masyarakatnya cerdas, isu SARA itu menjadi kontra produktif," kata Suyatno kepada Suara.com.
Namun, jika masyarakat di daerah tersebut tingkat pengetahuannya masih rendah, isu SARA bisa menjadi efektif untuk menjatuhkan lawan politik. Pasalnya, masyarakat yang tingkat pengetahuannya rendah sangat mudah dipengaruhi.
"Tergantung persepsi masyarakatnya, kalau masyarakatnya awam tentu bisa efektif isu tersebut. Sebab mereka rata-rata menelan bulat-bulat isu yang berkembang," ujar dia.
Bendahara Umum PP Muhammadiyah menambahkan, khusus untuk Jakarta, isu SARA tak akan efektif. Pasalnya masyarakat umumnya tingkat pengetahuannya cukup tinggi, mereka masyarakat yang rasional.
"Kalau Jakarta masyarakatnya sudah sangat cerdas, isu SARA itu bisa saja jadi kontraproduktif," tutur dia.
Menurut Suyatno khusus untuk sentimen agama, terkadang pandangan rasional bisa diabaikan oleh masyarakat. Sebab bagi masyarakat, terutama muslim, bicara agama adalah suatu hal yang sangat mendasar.
"Tapi kalau soal agama ya aqidah, kontraproduktif bisa diabaikan oleh masyarakat. Masyarakat berpandangan aqidah adalah hal yang paling mendasar,” kata dia.
Rektor Universitas Buya Hamka menjelaskan pemakaian isu SARA sudah terjadi sejak lama. Isu ini sering menjadi alat komunikasi yang dimanfaatkan kelompok tertentu.
"Dalam pilkada isu SARA ini sering digunakan. Hal itu sudah muncul dalam politik modern, itu bagian dari strategi masing-masing pihak," ujar Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta DKI Jakarta.
Berpolitiklah yang Sehat, Tinggalkan Isu SARA
Keprihatinan atas munculnya isu SARA di tengah persiapan pilkada Jakarta juga datang dari DPR.
Ketua Komisi VIII DPR yang membidangi agama Ali Taher Parasong mengajak siapapun jangan mengobarkan isu SARA ke dalam politik praktis. Ali mengatakan berpolitik harus dilakukan secara sehat dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemajemukan.
"Memang bahwa berpolitik haruslah yang sehat dengan menjunjung tinggi nilai majemuk, dan keluar dari isu-isu yang berkaitan dengan SARA," kata politikus PAN
Ali mengatakan semua agama di memiliki ajaran yang luhur. Itu sebabnya, kata dia, jangan demi kepentingan sesaat, simbol keagamaan disalahgunakan.
"Karenanya, hindarilah penilaian agama lain," kata dia.
Terutama kepada peserta pilkada, Ali menekankan harus saling menjaga diri dengan tidak menyulut hal-hal yang dapat memunculkan isu agama dan etnis. Sebab, kata Ali, setiap agama memiliki kriteria untuk menjadi pemimpin.
"Semua (agama) punya kriteria yang nantinya bakal jadi contoh teladan, dan panutan bagi masyarakat. Jadi tidak harus seperti itu (menggunakan isu SARA). Mulailah dari perbuatan dan perkataan yang menyenangkan masyarakat saja," tutur politikus PAN.
Politikus PKS Nasir Djamil juga mengimbau kepada tim pemenangan kandidat jangan menggunakan isu SARA untuk menjatuhkan lawan politik. Jangan sampai pesta demokrasi malah digunakan untuk memecah belah persatuan bangsa Indonesia.
"Menurut saya memang, tetap saja jangan sampai ada (isu SARA), karena kalau sudah berantem, masuklah orang-orang yang ingin mengadu domba," kata Nasir kepada Suara.com.
Nasir mengingatkan masyarakat agar selalu waspada dan jangan berpikir semua orang menginginkan persatuan. Menurut Nasir di luar sepengetahuan masyarakat luas, terdapat segelintir yang sengaja memanfaatkan situasi,, terutama situasi politik, untuk memecah belah.
"Jadi memang, jangan dipikir tidak ada orang-orang atau kelompok-kelompok yang mengadu domba. Mengadu domba antar umat beragama di Jakarta dengan memanfaatkan isu pilkada ini," ujar Nasir.
"Jadi harus dipahami oleh masing-masing tim calon yang maju, jangan sampai terpengaruh. Karena orang-orang di bawah ini, tidak mengerti," Nasir menambahkan.
Di berbagai kesempatan, Nasir telah mengimbau aparat penegak hukum untuk mengantisipasi adanya kalangan yang gemar memecah belah dengan isu SARA.
"Aparat keamanan juga harus bisa mengantisipasi, jangan hanya seperti pemadam kebakaran dalam soal seperti ini. Harus cepat, jadi Binmasn (bina masyarakat) itu harus, aparatnya itu yang ada di setiap kelurahan, terus polsek dan sebagainya harus cepat," kata Nasir.
Menurut Nasir aparat penegak hukum harus cepat tanggap jika mendapatkan informasi adanya kampanye hitam. Tujuannya agar dampaknya tak meluas dan menciptakan keributan di tengah masyarakat.
"Intinya harus cepat tanggap menanggapi laporan dari bawah. Jangan kalau sudah rusuh, di bawah yang disalahkan. Padahal, yang dibawah sudah menyampaikan informasi ke atas. Tapi, karena lambat ditanggapi, akhirnya seperti ini," kata Nasir. (Bagus Santoso, Erick Tanjung, Dian Rosmala)
Terkait:
Ketika Timses Cagub Jakarta Kompak Buang Isu SARA
Isu Sara Memang Seksi dan Menggoda Lawan