Bendera One Piece dan Batas Nasionalisme: Bupati Bantul Santai, DPR RI malah Gerah

Selasa, 05 Agustus 2025 | 21:19 WIB
Bendera One Piece dan Batas Nasionalisme: Bupati Bantul Santai, DPR RI malah Gerah
Potret bendera One Piece Berkibar di bawah bendera Merah Putih jelang HUT RI ke-80 (x.com/Anak__Ogi)

Suara.com - Fenomena pengibaran bendera ‘Jolly Roger’ dari anime populer One Piece semakin marak menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia.

Bendera hitam dengan simbol tengkorak bertopi jerami ini tak hanya berkibar di sejumlah rumah warga, tetapi juga ramai menjadi foto profil di media sosial.

Fenomena ini memicu perdebatan sengit: apakah ini sekadar bentuk ekspresi budaya pop yang tak berbahaya, atau sebuah gejala lunturnya nasionalisme di kalangan generasi muda?

Di tengah polemik yang memanas, sikap pemerintah justru terlihat terbelah.

Beberapa kepala daerah menunjukkan respons yang lebih longgar dan akomodatif. Salah satunya adalah Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, yang tidak mempermasalahkan pengibaran bendera fiktif tersebut di wilayahnya, dengan satu syarat mutlak.

"Ya tidak apa-apa kan itu juga cuma bendera mainan bukan bendera sebuah negara gitu," kata Halim, menunjukkan pandangannya bahwa bendera tersebut tidak memiliki bobot politis atau kenegaraan dikutip Selasa (5/8/2025).

Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih menyampaikan tentang ITF Bawuran di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Rabu (24/7/2024). [Kontributor/Putu Ayu Palupi]
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih menyampaikan tentang ITF Bawuran di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Rabu (24/7/2024). [Kontributor/Putu Ayu Palupi]

Ia menegaskan bahwa batasan yang jelas adalah posisi pemasangannya yang tidak boleh menyaingi kehormatan bendera Merah Putih.

"Jadi selama tidak lebih tinggi dari bendera Merah Putih, ya boleh," imbuh Halim.

Sikap serupa sebelumnya juga ditunjukkan oleh Wali Kota Solo, yang memandang fenomena ini sebagai bagian dari kreativitas anak muda.

Baca Juga: Salah Baca Zaman? Pakar Sebut Pemerintah Gagal Paham Bahasa Gen Z di Balik Bendera One Piece

Respons permisif dari para pemimpin daerah ini seolah menjadi angin segar bagi para penggemar One Piece yang sempat khawatir pemerintah akan mengambil tindakan represif.

Bagi mereka, mengibarkan bendera Bajak Laut Topi Jerami adalah bentuk solidaritas dan kecintaan pada sebuah karya fiksi yang sarat dengan nilai persahabatan, kebebasan, dan perlawanan terhadap tirani.

Namun, di tingkat pusat, suasananya berbeda. Beberapa anggota DPR RI dan pejabat pemerintah pusat dilaporkan telah menyuarakan keprihatinan dan penolakan.

Argumen mereka berakar pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Kekhawatiran utamanya adalah pengibaran simbol lain di samping Merah Putih, terutama pada momen sakral seperti HUT RI, dapat dianggap merendahkan martabat lambang negara.

Hal ini memunculkan pertanyaan penting yang harus menjadi perhatian pemerintah pusat dan para legislator.

Apakah pendekatan hukum yang kaku adalah jawaban yang tepat untuk fenomena budaya seperti ini?

Sikap permisif kepala daerah seperti di Bantul dan Solo menunjukkan adanya pemahaman yang lebih kontekstual terhadap realitas di lapangan.

Mereka tidak melihatnya sebagai ancaman, melainkan sebagai dinamika sosial yang bisa dikelola dengan komunikasi dan aturan yang jelas, seperti larangan mengibarkannya lebih tinggi dari Merah Putih.

Lantas, apakah benar mengibarkan bendera dari cerita fiksi bisa secara otomatis menghilangkan rasa nasionalisme?

Jawabannya tidak sesederhana itu. Nasionalisme adalah sebuah konsep yang kompleks dan internal.

Bagi banyak penggemar, memasang bendera One Piece tidak menggantikan kecintaan mereka pada Indonesia.

Keduanya eksis di ranah yang berbeda: satu sebagai identitas kebangsaan, yang lain sebagai identitas subkultur.

Alih-alih dianggap sebagai ancaman, fenomena ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah.

Ini adalah sinyal tentang bagaimana generasi muda mengekspresikan diri di era globalisasi.

Melarangnya secara membabi buta justru bisa menimbulkan antipati.

Langkah yang lebih bijak adalah merangkulnya sebagai bagian dari kreativitas, sambil terus mengedukasi pentingnya penghormatan terhadap simbol negara.

Dialog, bukan larangan, adalah kunci untuk memastikan euforia budaya pop dapat berjalan beriringan dengan semangat kebangsaan yang kokoh.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI