- Aksi Kamisan tetap konsisten menyuarakan keadilan HAM secara damai selama 18 tahun
- Demonstrasi besar terbaru menunjukkan meningkatnya kekecewaan publik terhadap pemerintah
- Pemerintah dinilai abai terhadap tuntutan rakyat dan lebih berpihak pada aparat
Suara.com - Setiap hari Kamis, sejak belasan tahun lalu, payung-payung hitam selalu menghiasi trotoar di depan Istana Presiden, Jakarta.
Mereka adalah para peserta Aksi Kamisan, sebuah mimbar keadilan yang tak kenal Lelah, menyuarakan tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu.
Kemarin tepat Kamis 4 September 2025, suasana di depan Istana sedikit berbeda.
Aksi Kamisan kemarin digelar setelah demonstrasi besar-besaran yang mengguncang ibu kota, menuntut transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam berbagai isu.
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa demonstrasi harus dilakukan secara damai dan tidak anarkis, aksi Kamisanlah yang sudah berjalan 18 tahun lamanya, dilakukan secara damai tetapi tidak ada satupun suaranya di dengar.
Aksi Kamisan, yang dimulai pada Januari 2007 adalah bentuk protes damai yang digagas oleh keluarga korban pelanggaran HAM berat.
Dengan mengenakan pakaian hitam dan memegang payung hitam sebagai simbol duka dan perlawanan, mereka berdiri membisu selama satu jam, mengingatkan negara akan janji-janji keadilan yang belum tertunaikan.
Pakaian hitam melambangkan duka, payung hitam melambangkan perlindungan dan penolakan terhadap lupa, serta berdiri di seberang Istana melambangkan suara rakyat yang menuntut perhatian penguasa.
Aksi Kamisan kemarin diselenggarakan dalam bayang-bayang demonstrasi massal yang berlangsung kemarin.
Baca Juga: Pemerintah Respons Sorotan PBB Soal Pelanggaran HAM Saat Demo: Tanpa Diminta Pun Kami Sudah Bergerak
Puluhan warga dari berbagai elemen masyarakat tumpah ruah di jalanan Jakarta, menyerukan berbagai tuntutan, dari isu-isu yang sedang diperbincangkan masyarakat.
Gelombang protes beberapa waktu belakangan, yang diwarnai ketegangan namun berakhir damai, menjadi indikasi meningkatnya kekecewaan publik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah.
Aksi ini juga mengenang serta mendoakan 10 orang yang meninggal saat demonstrasi besar-besar kemarin.
Aksi refleksi yang selalu diadakan di setiap aksi Kamisan, pada pernyataan Presiden Prabowo yang mengatakan bahwa ia akan memberi kenaikan pangkat kepada polisi akibat demostran beberapa hari belakangan, lantas rakyat Indonesia mendapatkan kenaikan pajak, tidak pernah mendapatkan keadilan.
“Kabar buruknya, Presiden kita Prabowo Subianto, malah menaikkan pangkat kepada polisi. Rakyat naik apa teman-teman?” ujar pemimpin orasi, Kamis (8/9/2025).
“Rakyat naik pajak!!” jawab dengan lantang oleh peserta demonstrasi.
Bukan hanya isu-isu sosial yang dibacarakan, namun isu lingkungan pun jadi pembahasan.

Salah satu orang yang bersuara di aksi Kamisan kali ini adalah Sekar dari Greenpeace Indonesia.
“Alih-alih pemerintah menghukum orang-orang yang melakukan vandalisme, merusak hutan kita, membuat lubang-lubang tambang baru, dan merusak semua ini,” ujarnya dengan rasa marah dan kecewa.
Lainnya, Petrus dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkarya juga bersuara bahwa para demonstrasi malah disebut penghianat, perusak negri, dan sebagai tindakan makar, Petrus juga menyuarakan tentang pidato Soekarno pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945.
“Yang lebih parahnya lagi, kita, rakyat, para demonstran, malah disebut penghianat, perusak negri, dan sebagai tindakan makar!!” ucapnya dengan penuh amarah.
Kehadiran para peserta Aksi Kamisan hari ini, meskipun jumlahnya tidak sebanyak demonstrasi besar-besaran di DPR, membawa resonansi yang kuat.
Mereka mengingatkan bahwa di tengah hiruk pikuk isu-isu kontemporer, PR besar pemerintah terkait penegakan HAM di masa lalu tidak boleh dilupakan.
Kehadiran mereka seolah menjadi jembatan antara tuntutan keadilan masa lalu dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Aksi Kamisan terus menjadi oase perjuangan tanpa kekerasan, sebuah pengingat abadi bahwa keadilan adalah hak asasi setiap warga negara, yang harus terus diperjuangkan, tak peduli berapa lama waktu berlalu.
Reporter: Safelia Putri